Sebagai mahasiswa semester enam yang lahir di era teknologi yang semakin berkembang, saya tumbuh di tengah gemerlap layar ponsel dan dinamika media sosial. Namun, di balik kecanggihan zaman, saya menemukan pijar inspirasi dari Ki Hadjar Dewantara, sang pelopor pendidikan yang memperjuangkan politik bangsa dengan jiwanya.
Warisannya tentang pendidikan sebagai alat emansipasi dan pembentukan identitas bangsa terasa begitu relevan bagi generasi Z, yang kini berhadapan dengan tantangan politik penuh polarisasi dan informasi serba cepat. Dalam esai ini, perjuangan politik Ki Hadjar akan direfleksikan dari sudut pandang saya sebagai anak muda yang ingin merangkul budaya tanpa kehilangan pijakan di era digital.
Perjuangan Ki Hadjar, yang lahir dari semangat anti-kolonialisme, menunjukkan bagaimana pendidikan bisa menjadi senjata politik yang ampuh. Lewat Taman Siswa, beliau membangun kesadaran rakyat untuk merdeka, tidak hanya dari penjajah, tetapi juga dari belenggu kebodohan.
Namun, di mata saya sebagai mahasiswa, sistem pendidikan kini sering kali terasa seperti perlombaan mengejar nilai dan gelar, jauh dari esensi pencerahan yang digaungkan Ki Hadjar. Politik Indonesia pun kian rumit, diwarnai hoaks, narasi memecah belah, dan pragmatisme yang menyebar cepat di media sosial. Akar masalahnya adalah krisis identitas bangsa, di mana generasi saya kerap terombang-ambing antara budaya global dan nilai-nilai lokal yang mulai pudar.
Melihat perjuangan Ki Hadjar, saya tersentuh oleh visinya yang inklusif. Prinsip “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” bukan sekadar jargon, tetapi panduan kepemimpinan yang humanis dan memberdayakan.
Di Taman Siswa, pendidikan diberikan untuk semua, tanpa memandang kelas sosial. Namun, kini saya melihat politik Indonesia sering kali didominasi elit yang jauh dari rakyat. Sebagai Gen Z, saya merasakan bagaimana media sosial bisa memperkuat polarisasi, dengan algoritma yang menggiring opini ketimbang menyatukan. Refleksi ini membuat saya bertanya: bagaimana semangat Dewantara bisa hidup di era ketika budaya lokal kerap terpinggirkan oleh arus globalisasi?
Urgensi untuk menghidupkan kembali gagasan Ki Hadjar terasa mendesak bagi generasi saya. Di tengah banjir informasi, literasi politik kami sering kali terbatas pada apa yang trending di X atau platform lain. Pendidikan politik yang kritis, seperti yang diajarkan Ki Hadjar, diperlukan untuk membekali kami memilah informasi dan memahami hak sebagai warga negara. Lebih dari itu, sebagai generasi yang bangga dengan budaya lokal, kami harus belajar merangkul nilai-nilai luhur seperti gotong royong dan kebhinekaan, yang juga menjadi inti perjuangan Ki Hadjar. Tanpa ini, kami berisiko kehilangan jati diri di tengah derasnya budaya digital yang serba instan.
Tantangan untuk menerapkan semangat Dewantara di era kami tidaklah sederhana. Pendidikan tinggi yang saya jalani sering kali lebih menekankan teori ketimbang kepekaan sosial. Di sisi lain, politik di media sosial kerap memicu konflik antargenerasi, alih-alih dialog. Namun, sebagai Gen Z, saya melihat peluang besar dalam teknologi. Platform digital bisa menjadi “Taman Siswa” modern, tempat kami menyebarkan nilai-nilai kebangsaan dan budaya lokal dengan cara yang kreatif, seperti konten video atau kampanye daring. Dengan memadukan teknologi dan budaya, kami bisa menghidupkan kembali semangat Ki Hadjar tanpa kehilangan akar identitas kami sebagai bangsa.
Langkah nyata untuk mewujudkan visi ini bisa dimulai dari kampus dan komunitas. Pertama, kurikulum pendidikan tinggi harus mengintegrasikan pendidikan kebangsaan yang kontekstual, misalnya melalui diskusi tentang isu lokal dan budaya. Kedua, kami sebagai mahasiswa bisa memanfaatkan media sosial untuk mengkampanyekan nilai-nilai Ki Hadjar, seperti keadilan dan persatuan, dengan bahasa yang dekat dengan Gen Z. Ketiga, kolaborasi dengan komunitas budaya lokal dapat memperkuat rasa bangga terhadap identitas bangsa. Dengan cara ini, politik tidak lagi sekadar wacana elit, tetapi menjadi gerakan akar rumput yang hidup di tangan generasi muda.
Terakhir, perjuangan politik Ki Hadjar Dewantara adalah lentera yang menyala terang bagi saya dan generasi Z. Di tengah hiruk-pikuk digital, visinya tentang pendidikan sebagai jalan menuju kemerdekaan batin mengingatkan kami untuk tetap berpijak pada budaya bangsa. Dengan merangkul teknologi tanpa melupakan akar budaya, kami bisa menjadikan politik sebagai sarana menyatukan, bukan memecah. Semoga semangat Dewantara terus menginspirasi kami, anak-anak zaman, untuk merajut Indonesia yang berbudaya, bermartabat, dan bersatu. Dari bangku kuliah, saya berharap dapat turut menyemai pijar itu, sekecil apa pun langkahnya.