Skor Literasi Indonesia Jeblok: Generasi Jago Konten tapi "Alergi" Membaca

Ayu Nabila | Fauzah Hs
Skor Literasi Indonesia Jeblok: Generasi Jago Konten tapi "Alergi" Membaca
Ilustrasi krisis literasi (Pexels/Pixabay)

Coba buka Instagram atau TikTok, dan lihat betapa jagonya anak-anak sekarang bikin konten. Mulai dari tutorial skincare, prank, unboxing, sampai curhatan receh ala daily vlog.

Mereka fasih bicara ke kamera, paham angle terbaik, jago edit pakai filter aesthetic, dan tahu kapan waktu terbaik posting biar FYP. 

Namun, saat disuruh baca artikel tiga paragraf dan diminta mencerna isinya? Jangan kaget kalau jawabannya, “Capek, Kak.” Atau lebih jujur lagi, “Males baca.”

Itu bukan sekadar selentingan sinis. Laporan terbaru dari Programme for International Student Assessment (PISA) 2023 dari OECD, skor membaca siswa Indonesia kini berada di 359 poin, terendah sejak Indonesia pertama kali bergabung di tahun 2000.

Posisi kita juga jauh di bawah negara-negara tetangga: Singapura (543), Vietnam (462), Malaysia (388), bahkan Thailand (379) dan Filipina (347) masih unggul atau nyaris sejajar. Indonesia hanya unggul dari Kamboja.

Ironisnya, kemerosotan ini terjadi di saat anggaran pendidikan Indonesia terus naik. Pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan sebesar Rp724,3 triliun untuk tahun 2025—naik 85% dari satu dekade lalu. Tapi kalau uang segitu banyak cuma bikin skor literasi makin rendah, maka kita perlu tanya: sebenarnya salahnya di mana?

Masalah ini jelas lebih dari sekadar anggaran. Ini adalah krisis literasi struktural. Artinya, kita nggak cuma bicara soal minat baca anak-anak, tapi juga sistem pendidikan yang belum bisa menciptakan budaya literasi secara menyeluruh.

Kurikulum masih terlalu berat di hafalan, guru terjebak pada target administratif, dan anak-anak dituntut lulus ujian, bukan memahami dunia.

Bayangkan, menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Itu artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang punya minat membaca.

Kalau dibayangkan dalam satu kelas berisi 30 murid, kemungkinan besar tak ada satu pun yang benar-benar suka baca buku di luar tugas sekolah.

Sekarang, mari jujur. Apakah kita bisa menyalahkan anak-anak karena lebih memilih main scroll TikTok ketimbang buka buku?

Tidak juga. Mereka lahir dan tumbuh di era digital. Informasi berseliweran di layar, bukan di rak buku. Tapi sistem pendidikan kita belum beradaptasi.

Buku pelajaran masih disajikan dengan bahasa kaku, teks panjang, tanpa relevansi kontekstual. Sementara di luar sana, dunia bergerak cepat dan visual.

Padahal, membaca bukan soal hobi elit. Literasi itu fondasi untuk berpikir kritis, memahami informasi, dan mengambil keputusan.

Anak yang tak biasa membaca akan kesulitan membedakan fakta dan hoaks, mudah terpancing provokasi, dan rentan terjerat dunia digital tanpa filter.

Krisis literasi ini juga mengkhawatirkan di tengah tantangan demokrasi dan maraknya informasi palsu.

Tanpa kemampuan membaca dan memahami, generasi muda bisa terseret arus opini tanpa daya berpikir. Mereka bisa jadi generasi yang aktif di media sosial, tapi pasif secara intelektual.

Lalu, apa solusinya? Jelas bukan sekadar menambah anggaran. Kita perlu revolusi pendekatan pendidikan—mulai dari perombakan kurikulum agar lebih kontekstual, pelatihan guru agar tak hanya mengajar tapi juga menginspirasi, hingga menciptakan budaya membaca di rumah dan sekolah.

Pemerintah perlu menjadikan perpustakaan sekolah bukan sekadar ruang kosong berdebu, melainkan pusat interaksi pengetahuan yang hidup dan menyenangkan.

Kita juga perlu mendorong kehadiran konten literasi digital yang ramah anak—bukan melawan teknologi, tapi menggunakannya sebagai jembatan.

Ajak influencer untuk mempromosikan buku, buat podcast atau YouTube edukatif yang relate, dan pastikan buku bisa diakses dengan murah dan mudah.

Karena kalau tidak, generasi kita hanya akan jadi jagoan di depan kamera tapi linglung saat diminta menganalisis isi berita.

Ketika itu terjadi secara kolektif, jangan heran kalau bangsa ini bisa viral tapi tak pernah benar-benar maju.

Lalu, siapkah kita menghadapi konsekuensi ketika suatu hari nanti, bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang pintar tampil, tetapi miskin pemahaman?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak