Ketika Pelindung Jadi Predator: Darurat Kekerasan Seksual di Indonesia

Hayuning Ratri Hapsari | hanifati radhia
Ketika Pelindung Jadi Predator: Darurat Kekerasan Seksual di Indonesia
Ilustrasi pelecehan seksual anak (pixabay.com/Gerd Altmann)

Peringatan Hari Kartini semestinya dirayakan dengan optimisme bahwa perempuan Indonesia bisa semakin berdaya dan mendapatkan rasa aman di mana pun berada. Sebaliknya, kenyataan saat ini justru menunjukkan kondisi darurat kekerasan terhadap perempuan yang semakin merajalela.

Sebagaimana beberapa waktu terakhir, khalayak terus digegerkan dengan berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, utamanya kekerasan seksual. Hal yang memprihatinkan adalah kekerasan seksual tersebut melibatkan profesi yang seharusnya mengedepankan kemanusiaan dan memberikan perlindungan.

Seperti dokter yang menyelamatkan nyawa, dosen yang mendidik hingga aparat negara seperti polisi dan tentara yang melindungi warganya. Atau juga seorang ustaz di lingkungan pesantren yang semestinya menjadi kompas moral bagi santri dan masyarakat.

Akan tetapi amat sangat disayangkan mereka justru menjadi pelaku kekerasan atau predator seksual yang tak segan memangsa korbannya kapan saja di mana saja. Miris mengetahui fakta bahwa kekerasan seksual justru terjadi di tempat yang kita anggap paling aman sekalipun.

Merujuk pada data Komnas Perempuan, juga tak kalah menyedihkan. Jumlah laporan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak setiap tahun tak menunjukkan penurunan kasus. Sering kali pada banyak kasus didapati hanya sebagian kecil yang muncul ke permukaan.

Faktanya budaya patriarki dan normalisasi pelecehan seksual menggiring para korban lebih memilih untuk diam. Hal ini lantaran mereka khawatir menjadi pihak yang disalahkan, dikucilkan hingga tak dipercaya.

Jika kita amati seksama, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan kerap terjadi lantaran adanya pola berulang. Pertama, pelaku kekerasan menggunakan relasi kuasa untuk membungkam korban.

Seperti misalnya, di lingkungan sekolah dan kampus, guru atau dosen memiliki kuasa atas nilai dan masa depan peserta didik. Jika di pesantren, kiai atau pengasuh dianggap tokoh suci sehingga dianggap tak mungkin jika terlibat hal asusila. Pada ruang- ruang ini, di mana mereka seharusnya aman, korban justru merasakan dilema.

Mereka takut bercerita, bicara, speak up untuk mendapatkan keadilan. Tentu kondisi ini menjadikan kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es. Kasus memang muncul di permukaan, namun sebenarnya masih banyak kasus tak dilaporkan atau terselesaikan hingga sengaja ditutupi demi menjaga nama baik.

Perempuan dan anak menjadi kelompok yang harusnya dilindungi dalam masyarakat. Realita yang ada justru sebaliknya. Mereka menjadi korban yang mengalami kekerasan seksual.

Dalam hal ini, negara semestinya jugalah yang turut bertanggungjawab untuk hadir dalam melindungi. Lantas apakah demikian? Mari kita melihat upaya tersebut salah satunya melalui aspek hukum.

Terlebih pada sisi lemahnya sistem hukum di negara kita yang tak pelak lagi bisa menjadi hambatan besar dalam penanganan kekerasan seksual. Namun kita harus tetap mengapresiasi langkah maju pemerintah yang pada 2022 telah mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Seturut itu, tampak implementasinya jauh panggang dari api. Penerapan undang-undang tersebut masih jauh dari harapan. Seperti misalnya, para aparat penegak hukum masih belum memahami atau peka pada isu kekerasan seksual.

Seperti yang bisa kita duga, banyak kasus mandek, tidak ditindaklanjuti secara serius, hingga no viral no justice. Harus menunggu kasus viral terlebih dulu sebelum kemudian ditangani.

Untuk itu, negara seharusnya tidak hanya sibuk membuat regulasi di atas kertas. Negara wajib hadir bagi perlindungan perempuan dan anak. Negara hadir serta memastikan pelaksanaan di lapangan, dimulai dari pelatihan aparat penegak hukum, edukasi publik, hingga berpihak pada korban seperti akses pendampingan hukum dan psikologis.

Lebih lanjut, pemerintah saat ini melalui program ASTA CITA dan misi Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) telah menyatakan komitmen untuk melindungi perempuan dan anak. Kita nantikan keseriusan dari komitmen yang telah dicanangkan tersebut.

Penutup

Kasus kekerasan seksual perempuan dan anak yang marak terjadi belakangan merupakan bentuk kegagalan sistemik. Jika kita telusuri kasus-kasus yang ada, kekerasan seksual justru terjadi di tempat-tempat para perempuan dan anak seharusnya merasa aman. Namun demikian yang terjadi bukan perlindungan dan rasa aman, melainkan kecemasan dan ketakutan.

Belum lagi saat korban mulai berani berbicara, melapor dan memutus mata rantai kekerasan tersebut, tak selalu mudah. Parahnya lagi, negara dalam hal ini melalui aparat terkadang tidak bergerak jika tak diviralkan atau didesak masyarakat.

Dengan demikian, mari kita samakan persepsi bahwa perlindungan perempuan dan anak tak hanya soal moral, namun juga tanggung jawab konstitusional. Sudah saatnya negara hadir melindungi semua warganya, termasuk perempuan dan anak melalui komitmen dan kebijakan nyata.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak