Setiap tahun, tanggal 2 Mei datang lagi. Ada upacara, ada pantun, ada pidato_dan biasanya, sekolah-sekolah jadi lebih rapi dari biasanya. Tapi di balik itu semua, Hari Pendidikan Nasional bukan cuma soal seremoni. Ini tentang satu hal yang lebih dalam: harapan.
Harapan bahwa pendidikan masih punya makna. Masih layak diperjuangkan. Masih bisa jadi cahaya, bahkan saat dunia rasanya makin gelap.
Mungkin kamu masih ingat wajah gurumu di SD. Atau mungkin kamu pernah jadi murid yang nyontek, tapi kemudian dihukum dengan cara yang membuatmu sadar, bukan malah malu. Pendidikan bukan hanya tempat kita belajar matematika dan bahasa Indonesia. Tapi tempat di mana kita pertama kali diajari tentang tanggung jawab, kejujuran, kerja keras, dan kadang... patah hati karena nilai merah. Semua itu, meskipun sederhana, membentuk siapa kita hari ini.
Tapi kenyataannya, nggak semua orang punya kesempatan yang sama. Di banyak pelosok Indonesia, pendidikan masih jadi hal yang mewah. Masih ada anak-anak yang harus jalan berjam-jam hanya untuk sampai ke sekolah. Masih ada guru yang rela mengajar dengan gaji seadanya, bahkan tanpa kepastian. Di satu sisi negeri ini sedang bicara soal kurikulum baru dan teknologi pendidikan, tapi di sisi lain, ada sekolah yang gentengnya bocor tiap hujan. Rasanya seperti ada dua dunia pendidikan yang berjalan bersamaan, padahal ini satu negara.
Kita juga sering lupa bahwa pendidikan bukan cuma tentang akademik. Nilai-nilai yang nggak pernah ditulis di rapor justru yang paling menentukan arah hidup seseorang. Kamu mungkin bisa hafal teori ekonomi, tapi kalau nggak tahu cara menghargai orang lain, kamu akan kesulitan jadi manusia yang utuh. Di sinilah seharusnya pendidikan hadir: membentuk karakter, bukan sekadar mencetak angka.
Dan di tengah semua itu, ada sosok guru. Mereka yang datang pagi-pagi, pulang sore, kadang dengan wajah letih, tapi tetap senyum. Mereka yang bisa jadi satu-satunya cahaya di hidup seorang anak yang rumahnya penuh keributan. Guru bukan cuma pengajar, tapi juga pendengar, penghibur, pembimbing. Mereka seperti aktor yang main di panggung kecil tapi berdampak besar. Tapi seberapa sering kita benar-benar mendengar cerita mereka? Atau hanya mengingat mereka saat bikin tugas anak jadi ribet?
Pendidikan juga harusnya inklusif. Tapi kenyataan di lapangan kadang berkata lain. Anak-anak dengan kebutuhan khusus masih sering dipinggirkan. Mereka yang berbeda sering dianggap aneh. Padahal justru di sanalah seharusnya pendidikan menunjukkan wajah terbaiknya: menerima, merangkul, dan memberi ruang untuk semua orang tumbuh, apapun kondisinya.
Lalu datanglah teknologi. Kita hidup di zaman serba cepat. Belajar bisa lewat YouTube, podcast, bahkan TikTok. Dunia berubah dan sekolah dituntut ikut berubah. Tapi perubahan nggak semudah update aplikasi. Perlu adaptasi, pelatihan, dan keberanian untuk bilang, “Cara lama nggak lagi relevan.” Bukan berarti yang lama dibuang, tapi kita harus cukup terbuka untuk menerima hal baru. Karena murid-murid hari ini nggak sama dengan murid 20 tahun lalu.
Tantangan pendidikan sekarang bukan hanya lokal. Kita bersaing di tingkat global. Anak-anak Indonesia harus siap menghadapi dunia yang berubah cepat, yang kadang nggak peduli kamu lulusan mana, tapi lebih peduli pada apa yang bisa kamu kerjakan dan bagaimana caramu berpikir. Maka, kurikulum dan cara belajar pun harus disesuaikan_bukan demi ranking PISA atau indeks prestasi semata, tapi demi masa depan anak-anak yang lebih tangguh dan fleksibel.
Dan satu hal penting: belajar itu nggak berhenti. Nggak selesai saat wisuda. Nggak tamat saat lulus kuliah. Dunia akan terus berubah, dan kalau kita berhenti belajar, kita akan tertinggal. Maka pendidikan seharusnya bukan hanya milik anak sekolah, tapi jadi milik semua orang. Sepanjang hayat, sepanjang kita masih mau bertanya dan mencari tahu.
Hari Pendidikan Nasional, pada akhirnya, adalah pengingat. Bahwa meskipun kita sering lelah, kecewa, atau merasa sistem ini belum sempurna, kita tetap punya harapan. Kita masih percaya bahwa dengan pendidikan yang lebih adil, manusiawi, dan terbuka, kita bisa pelan-pelan memperbaiki dunia ini. Atau setidaknya, memperbaiki cara kita melihatnya.
Karena pendidikan bukan hanya tentang gedung sekolah atau papan tulis. Ia hidup dalam setiap perbincangan, dalam setiap proses bertumbuh, dalam setiap orang yang masih mau mendengarkan, mengajar, dan belajar kembali.
Jadi, selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari terus belajar, dengan atau tanpa seragam.