Review The Complete Short Stories II: Dunia Kafka dalam Fragmen dan Sunyi

Hikmawan Firdaus | Suhendrik Nur
Review The Complete Short Stories II: Dunia Kafka dalam Fragmen dan Sunyi
Cover Buku Franz Kafka "The Complete Short Stories Volume II" (dokpri)

Dalam dunia yang makin gemar menjejalkan semuanya ke dalam struktur: narasi, solusi, bahkan motivasi, karya-karya Franz Kafka hadir seperti pecahan kaca. Tajam, tak utuh, namun mencerminkan sesuatu yang kita sendiri sulit pahami. Kafka, dalam banyak hal, bukan hanya penulis, melainkan penunjuk absurditas yang tak bisa dijelaskan dalam paragraf tunggal. Ia adalah penanda bahwa hidup yang sering kali tak masuk akal.

Saya membaca The Complete Short Stories Volume II, edisi terjemahan Indonesia dari Diva Press yang dikurasi oleh Tia Stiadi, bukan dalam satu duduk, melainkan berhari-hari. Bahkan, beberapa cerita saya baca berulang kali, bukan karena menyenangkan, tapi karena membingungkan. Buku ini bukan hiburan, bukan pula eskapisme. Ia lebih mirip ruang gelap di dalam pikiran, tempat kita bertemu ketidakpastian paling hakiki tentang diri dan dunia.

Kafka dan Seni Bercerita Tanpa Jawaban

Franz Kafka tak pernah tertarik memberi pembaca “apa yang mereka mau”. Ia tidak seperti penulis modern yang rajin membangun karakter, alur, dan resolusi. Dalam cerita-ceritanya, tak ada pahlawan, tidak ada kejelasan motif, dan bahkan sering tak ada akhir. Dunia Kafka seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Kita tidak bisa kabur darinya, dan ironisnya, di sanalah kekuatan karya ini tinggal.

Dalam Volume II, kita menemukan cerita-cerita seperti “Juru Kunci Makam”, “Gracchus Sang Pemburu”, “Sebuah Laporan kepada Akademi”, “Seniman Kelaparan”, hingga “Josephine Sang Biduan, atau Rakyat Tikus”. Beberapa adalah cerita penuh, sementara sisanya hanya fragmen. Tapi jangan keliru: dalam dunia Kafka, satu paragraf bisa lebih menghantui daripada novel 500 halaman.

Misalnya dalam “Penyelidikan Seekor Anjing”, kita diajak menyelami narasi dari seekor anjing yang bertanya-tanya tentang tatanan masyarakatnya. Ia tidak mengerti bagaimana makanan muncul, siapa yang mengatur, dan kenapa semuanya berlangsung seperti itu. Dan perlahan kita sadar: anjing ini tidak sedang berbicara tentang anjing. Ia sedang bicara tentang kita "manusia" yang begitu tunduk pada sistem, tapi jarang bertanya dari mana semuanya berasal.

Kafka tidak sedang mengkritik pemerintah atau ideologi secara langsung. Ia hanya menyodorkan absurditas: realitas yang berjalan tanpa penjelasan, dan kita semua jadi bagian dari mekanisme yang tak pernah kita pahami sepenuhnya.

Fragmen: Seni Ketidaklengkapan Kafka

Salah satu daya tarik Volume II ini adalah banyaknya cerita yang berbentuk fragmen. Mungkin bagi sebagian pembaca, ini mengecewakan. Kita terbiasa dengan awal-tengah-akhir. Tapi Kafka menolak itu. Ia menyajikan cerita seperti kilasan mimpi. Sering kali, saat kita merasa cerita akan “dimulai”, justru di situlah ia berakhir.

Dalam “Tembok Besar Cina”, misalnya, kita tidak diajak menelusuri pembangunan fisiknya, tapi diajak menafsirkan absurditas logika di balik pembangunannya: dibangun secara tidak berurutan, oleh generasi berbeda, demi tujuan yang tak pernah dijelaskan. Di sini, Kafka mengajak kita merenung: seberapa sering kita melakukan sesuatu tanpa tahu kenapa, hanya karena “sudah semestinya begitu”?

Fragmen-fragmen Kafka seperti bagian otak yang kita coba hindari. Ia tahu bahwa logika bukan selalu jawaban. Justru dari ketidaktuntasan, pembaca diajak untuk terlibat lebih aktif—meraba-raba makna, merakit ulang perasaan, dan menanggung kekosongan dengan penuh kesadaran.

Tia Stiadi dan Tantangan Menerjemahkan Kekacauan

Tia Stiadi sebagai kurator dan An Ismanto sebagai penerjemah menghadapi tantangan yang berat: membawa kekacauan Kafka ke dalam bahasa Indonesia. Tidak mudah menerjemahkan kalimat panjang, simbolis, dan penuh ambiguitas Kafka ke dalam bahasa yang berbeda struktur dan kulturnya.

Saya membaca beberapa komentar yang menyebut terjemahan ini terasa “kaku” atau “berat”. Saya mengerti maksudnya. Namun, dalam pembacaan saya, kekakuan itu justru cocok dengan atmosfer cerita-cerita Kafka yang penuh tekanan dan ketegangan. Ini bukan terjemahan yang mengalir indah seperti puisi Rendra. Ini terjemahan yang membuat kita merasa sedang berjalan dalam kabut—dan itu sesuai dengan isi bukunya.

Kurasi Tia Stiadi juga patut diapresiasi karena berhasil menyusun cerita dan fragmen secara tematik, membangun atmosfer yang saling berkelindan. Kita merasa sedang membaca dunia Kafka dalam satu napas panjang, meski ceritanya berdiri sendiri-sendiri.

Bukan Buku untuk Semua Orang

Mari kita jujur: The Complete Short Stories Volume II bukan buku untuk semua orang. Ini bukan bacaan yang akan membuatmu tertawa, menangis, atau merasa “terinspirasi”. Bahkan, buku ini mungkin akan membuatmu frustrasi. Tapi justru di situ daya magisnya.

Kafka menulis untuk jiwa-jiwa yang diam-diam tahu bahwa dunia ini absurd. Untuk orang-orang yang pernah merasa asing di rumah sendiri, yang merasa hidup ini seperti permainan dengan aturan yang tak pernah dijelaskan. Jika kamu pernah bangun pagi dan bertanya, “Kenapa semua ini terasa ganjil?” maka Kafka adalah teman bicara yang kamu butuhkan.

Mengapa Kafka Masih Penting?

Di zaman yang serba cepat, Kafka adalah pengingat bahwa tidak semua hal harus selesai hari ini. Bahwa tidak semua pertanyaan punya jawaban. Dan bahwa terkadang, justru dalam absurditas dan kegagalan kita menemukan kemanusiaan kita yang paling dalam.

Cerita-cerita pendek ini, meski tak panjang, menyimpan kedalaman yang sulit diukur. Ia bukan sekadar karya sastra, tapi pengalaman eksistensial. Dan membaca Kafka bukan hanya soal memahami, tapi merasakan: sunyi, janggal, takut, bingung—semuanya datang bersamaan.

Kafka mengingatkan kita bahwa keterasingan adalah bagian dari hidup. Dan kadang, justru dari keterasingan itu kita bisa mendekati kebenaran yang lebih jujur tentang diri kita sendiri.

Penutup: Membaca untuk Tidak Memahami

Kafka tidak menulis untuk menjelaskan. Ia menulis untuk menunjukkan bahwa hidup ini memang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya. Maka, membaca Kafka adalah latihan untuk menerima. Menerima bahwa tidak semua bisa kita kendalikan. Menerima bahwa tidak semua orang akan mengerti. Dan menerima bahwa kita pun, kadang tak mengerti diri sendiri.

The Complete Short Stories Volume II adalah undangan sunyi ke ruang batin yang selama ini kita diamkan. Sebuah lorong gelap di mana kita mungkin tersesat, tapi justru di situlah kemungkinan tumbuhnya pemahaman yang lebih dalam. Bukan lewat logika, tapi lewat keheningan yang panjang. Jika kamu berani menghadapi pertanyaan tanpa jawaban, maka buku ini layak kamu baca. Bukan karena ia memberi kejelasan, tapi karena ia memberi cermin. Dan mungkin, dalam pantulan yang retak itu, kita bisa melihat bayangan kita yang sebenarnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak