Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, resmi menerapkan kebijakan pengiriman siswa dengan perilaku menyimpang ke barak militer guna mengikuti program pendidikan karakter. Meski menuai beragam respons, Dedi menegaskan langkah ini diperlukan untuk memperkuat pembinaan remaja di wilayahnya.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor: 43/PK.03.04/KESRA tentang "9 Langkah Pembangunan Pendidikan Jawa Barat Menuju Terwujudnya Gapura Panca Waluya". Dalam surat tersebut, pemerintah daerah mengatur klasifikasi kenakalan siswa yang akan dibina melalui pelatihan berbasis militer.
Kategori perilaku menyimpang yang menjadi sasaran program ini meliputi keterlibatan dalam tawuran, kecanduan bermain game, kebiasaan merokok, konsumsi minuman keras, hingga aksi balap liar. Para siswa dengan catatan perilaku tersebut akan diprioritaskan untuk dikirim ke barak TNI sebagai bagian dari upaya rehabilitasi karakter.
Dedi menyatakan, meski ada pihak yang menilai kebijakan ini kontroversial, pembinaan berbasis kedisiplinan militer dianggap sebagai pendekatan efektif untuk membentuk generasi muda yang lebih tangguh dan berkarakter. Program ini mulai diimplementasikan secara bertahap di sejumlah kabupaten dan kota di Jawa Barat.
Di tengah gelombang pro dan kontra, program pendidikan karakter berbasis militer yang dicanangkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, resmi dimulai di dua daerah, yakni Purwakarta dan Bandung, pada Jumat (2/5/2025).
Sebanyak 39 pelajar tingkat SMP yang dinilai "sulit diatur" oleh pihak sekolah dan keluarga dikirim ke Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Armed 9 Purwakarta, untuk menjalani pendidikan karakter. Di Bandung, 30 pelajar lainnya mengikuti program serupa di Resimen Induk Kodam (Rindam) III Siliwangi.
Dedi Mulyadi menjelaskan, program ini merupakan bentuk kerja sama dengan TNI dan Polri, bertujuan untuk memperkuat karakter bela negara di kalangan pelajar, terutama mereka yang terjerumus dalam pergaulan bebas atau terindikasi melakukan tindakan kriminal.
Selama ini, banyak orang tua yang bersedih karena anak-anak mereka terlibat dalam pergaulan negatif, seperti geng motor, tawuran, hingga penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Melalui pembinaan yang melibatkan TNI dan Polri, kita berharap ini menjadi solusi nyata untuk mengatasi masalah sosial tersebut.
Program ini menjadi bagian dari implementasi Surat Edaran Nomor 43/PK.03.04/KESRA yang sebelumnya diterbitkan sebagai upaya pembenahan karakter generasi muda di Jawa Barat.
Kegiatan di barak militer ini mencakup pembelajaran kedisiplinan, pelatihan fisik, penanaman nilai-nilai nasionalisme, serta bimbingan mental dan moral. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menargetkan perluasan program ini ke lebih banyak daerah dalam beberapa bulan ke depan.
Namun, program pendidikan karakter berbasis militer yang dicanangkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk siswa bermasalah menuai kritik dari sejumlah pengamat pendidikan dan perlindungan anak.
Mereka menilai, pengiriman siswa ke barak militer justru berisiko memberikan stigma negatif yang memperparah kondisi psikologis anak, alih-alih membentuk karakter atau memberikan efek jera.
Di satu sisi, Gubernur Dedi Mulyadi menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat karakter bela negara dan membentuk generasi muda yang lebih tangguh.
Anak-anak yang terlibat dalam pergaulan bebas, tawuran, kecanduan game, hingga balap liar, dianggap memerlukan pendekatan yang lebih tegas dan terstruktur, seperti pendidikan militer. Namun, pengamat pendidikan menilai bahwa kebijakan ini justru berpotensi memberikan stigma negatif kepada anak-anak tersebut.
Anak-anak yang dikirim ke barak militer akan diidentifikasi sebagai 'nakal' atau 'bermasalah', yang bisa memperburuk kondisi psikologis mereka. Alih-alih memberikan efek jera, ini justru bisa merusak rasa percaya diri mereka dan menambah beban mental.
Penggunaan pendekatan militer untuk mendidik anak yang bermasalah bisa menambah tekanan mental, terutama bagi mereka yang sudah merasa terisolasi akibat permasalahan sosial atau keluarga.
Siswa yang dikirim ke barak militer tidak hanya harus menghadapi kedisiplinan yang ketat, tetapi juga beban sosial yang berat karena dianggap telah gagal dalam pendidikan di sekolah maupun lingkungan keluarga.
Anak-anak itu dianggap tidak bisa lagi dibina oleh orang tua atau sekolah, lalu diserahkan ke militer. Ini asumsi yang keliru. Tugas utama mendidik tetap ada pada orang tua dan sekolah, bukan dilepaskan begitu saja.
Selain aspek psikologis, dasar hukum program ini juga dipertanyakan. Menurut para pengamat, kebijakan memasukkan siswa ke barak militer selama enam hingga dua belas bulan, tanpa memutus status mereka sebagai pelajar, menimbulkan sejumlah persoalan hukum.
Mereka mengingatkan bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tidak mengatur penggunaan fasilitas militer sebagai tempat pembinaan anak sekolah. Ada kekhawatiran hak-hak akademik siswa akan terabaikan, termasuk kelanjutan pendidikan formal mereka.
Lebih jauh, pengamat juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak menempatkan anak-anak yang terlibat perilaku menyimpang seperti tawuran atau kekerasan sebagai anak yang berhak mendapatkan perlindungan khusus. Mereka membutuhkan pendekatan pembinaan yang humanistik, bukan hukuman berbasis militer.
Sejumlah organisasi pemerhati anak dan pendidikan telah menyerukan agar pemerintah Provinsi Jawa Barat mengevaluasi kebijakan ini, serta memastikan pendekatan yang digunakan tidak melanggar hak anak ataupun prinsip dasar sistem pendidikan nasional.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS