Sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya sering merasa seperti penyair yang menari di antara larik-larik puisi, menenun kata-kata untuk menangkap jiwa manusia. Jurusan saya adalah dunia makna, tempat bahasa menjadi jembatan antara hati dan pikiran.
Tapi, ketika saya terlibat dalam proyek lintas jurusan, saya menemukan pelangi baru: kolaborasi antarjurusan. Bagaikan menyusun antologi dari berbagai genre, bekerja dengan mahasiswa dari disiplin lain—teknik, desain, psikologi—mengajarkan saya bahwa kata-kata saya bisa berpadu dengan angka, visual, dan data untuk menciptakan karya yang tak hanya indah, tapi juga mengguncang. Kolaborasi ini adalah panggung tempat ilmu-ilmu berbeda menari bersama, dan saya, penutur kata, punya peran di dalamnya.
Kolaborasi antarjurusan, bagi saya, adalah seperti menyusun novel dengan banyak penulis, masing-masing membawa gaya sendiri. Dalam artikel Interdisciplinary Collaboration: An Emerging Cognitive Science oleh Derry, Schunn, dan Gernsbacher (2005), disebutkan bahwa kerja sama lintas disiplin memicu inovasi dengan menggabungkan perspektif unik.
Saya merasakan ini saat mengerjakan proyek kampanye literasi digital bersama teman dari jurusan teknik informatika dan desain komunikasi visual. Saya meracik narasi yang menggugah, teman teknik membangun platform interaktif, dan desainer menciptakan visual yang memikat. Hasilnya? Kampanye yang tak hanya menginspirasi, tapi juga mudah diakses dan estetis. Artikel itu membuktikan: kolaborasi semacam ini adalah ladang subur tempat ide-ide besar berbunga.
Tapi, jangan bayangkan kolaborasi ini selalu seindah puisi Sapardi. Kadang, kami tersandung pada perbedaan bahasa ilmu—saya bicara tentang emosi dalam kata, teman teknik bicara tentang efisiensi kode, dan desainer sibuk dengan palet warna. Saya pernah merasa narasi saya “terlalu puitis” untuk proyek berbasis teknologi, sementara teman teknik menganggap kata-kata saya “kurang praktis.” Namun, dari gesekan itu, kami belajar. Saya mulai memahami logika pemrograman, dan mereka mulai menghargai kekuatan cerita. Kolaborasi antarjurusan mengajarkan saya bahwa perbedaan tak ubahnya bait-bait puisi yang berbeda metrum—jika disusun dengan hati, mereka bisa harmonis.
Manfaat lain dari kolaborasi ini adalah jaringan yang terbentuk, seperti rangkaian kata yang mengalir jadi puisi epik. Awalnya, saya pikir networking adalah urusan korporat, bukan untuk penutur sastra seperti saya. Tapi, saat bekerja dengan mahasiswa dari jurusan bisnis, saya diajak ke acara penerbitan indie yang membuka wawasan saya tentang industri buku. Setiap diskusi di ruang proyek, setiap tawa saat lembur, adalah bait baru dalam jaringan pertemanan. Kolaborasi antarjurusan bukan cuma soal menyelesaikan tugas; ini tentang merangkai komunitas yang saling menguatkan, seperti antologi cerpen dari berbagai pena.
Ada keajaiban lain dalam kolaborasi ini: ia mengajak saya melangkah keluar dari dunia kata. Jurusan saya mengajarkan cara merangkai makna, tapi saat bekerja dengan mahasiswa psikologi untuk proyek pendidikan inklusif, saya belajar tentang kebutuhan emosional anak berkebutuhan khusus. Rasanya seperti membaca bab baru dalam buku yang tak pernah saya sentuh sebelumnya. Saya sadar bahwa sastra saya hanyalah satu warna dalam pelangi ilmu, dan kolaborasi ini mengizinkan saya melukis dengan warna-warna lain—data, empati, teknologi—untuk menciptakan karya yang tak hanya indah, tapi juga berdampak.
Tapi, mari kita akui, kolaborasi ini kadang seperti menyusun puisi dengan rima yang tak selaras—menantang, tapi hasilnya memukau. Saya pernah merasa ide naratif saya “kurang ilmiah” di antara tabel dan grafik teman statistik, dan mereka menganggap diksi saya “terlalu berbunga.” Satirnya, kampus sering mengurung kita dalam laci jurusan, padahal dunia nyata tak peduli laci itu. Dunia menuntut kita menulis cerita lintas disiplin, menyelesaikan masalah dengan cara yang tak pernah diajarkan di kelas filologi. Kolaborasi antarjurusan adalah latihannya—tempat saya belajar bahwa kata-kata saya bisa jadi jembatan, bukan hanya hiasan.
Kolaborasi antarjurusan adalah tentang merangkai pelangi dari ilmu-ilmu yang berbeda, seperti antologi yang memuat puisi, prosa, dan esai dalam satu harmoni. Sebagai mahasiswa sastra, saya belajar bahwa kata-kata saya punya kekuatan lebih besar saat berpadu dengan ilmu lain. Ini bukan cuma soal lulus dengan nilai gemilang, tapi tentang mengukir perubahan—satu proyek, satu cerita, satu kolaborasi pada satu waktu. Jadi, jika kamu masih terpaku pada larik-larik jurusanmu, cobalah melangkah ke panggung ini. Di sana, di persimpangan ilmu, ada pelangi kata yang menanti untuk kamu tulis.