Dosen Prodi PBSI Itu Ibarat Penyulut Cinta pada Kata dan Budaya

Hernawan | Sherly Azizah
Dosen Prodi PBSI Itu Ibarat Penyulut Cinta pada Kata dan Budaya
Ilustrasi dosen mengajar di kelas (pexels/Yan Krukau)

Di tengah lautan rutinitas kuliah yang kadang terasa seperti ombak monoton, dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) hadir bak penyair yang menaburkan kata-kata penuh makna, menuntun mahasiswa menyelami keindahan bahasa dan budaya Nusantara. Lebih dari sekadar pengajar tata bahasa atau pengurai puisi, dosen inspiratif di jurusan ini adalah penyulut api di hati mahasiswa—sosok yang mengubah kelas menjadi panggung di mana kata-kata hidup dan cerita-cerita leluhur bangkit kembali. Melalui pengajaran yang penuh gairah atau nasihat yang sederhana namun mengena, mereka tak hanya membentuk calon pendidik, tetapi juga penjaga warisan budaya.

Peran dosen sebagai inspirator terletak pada kemampuannya untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan minat intrinsik mahasiswa. Dalam artikel Cultivating Competence, Self-Efficacy, and Intrinsic Interest Through Proximal Self-Motivation oleh Bandura dan Schunk (1981), dijelaskan bahwa pendidik yang memberikan tantangan yang terjangkau dan dorongan personal dapat meningkatkan efikasi diri serta motivasi belajar mahasiswa.

Dalam konteks PBSI, ini berarti dosen tak hanya mengajarkan struktur pantun atau analisis novel, tetapi juga menginspirasi mahasiswa untuk melihat bahasa sebagai cermin identitas bangsa. Seorang dosen yang berbagi kisah tentang bagaimana ia awalnya kesulitan memahami puisi Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, menunjukkan bahwa perjuangan adalah bagian dari proses menjadi pendidik yang peka, membuat mahasiswa merasa lebih percaya diri dalam perjalanan belajar mereka.

Bayangkan sebuah kelas di jurusan PBSI, di mana dosen tak hanya memaparkan teori stilistika, tetapi mengajak mahasiswa membedah iklan berbahasa daerah atau lirik lagu keroncong dengan penuh tawa. “Bahasa kita adalah lukisan budaya yang tak pernah usai!” ujar seorang dosen sambil menghubungkan kosa kata Bali dalam sebuah cerita rakyat dengan nilai-nilai harmoni sosial.

Pengajaran seperti ini bukan sekadar transfer ilmu, tetapi undangan untuk jatuh cinta pada kekayaan bahasa Indonesia. Saya teringat seorang dosen yang mengibaratkan sastra sebagai “napas bangsa yang tersimpan dalam kata,” membuat mahasiswa tak lagi memandang puisi sebagai tugas, tetapi sebagai jendela menuju jiwa Nusantara yang harus mereka lestarikan sebagai calon guru.

Inspirasi tak selalu lahir dari kelas yang meriah. Kadang, nasihat singkat di sela konsultasi skripsi—misalnya, "Tak apa salah menulis analisis, yang penting kamu berani menyuarakan interpretasimu"—bisa mengubah cara mahasiswa memandang diri mereka sebagai pendidik. Dosen inspiratif di jurusan ini memahami bahwa mereka sedang membentuk generasi yang akan mengajarkan anak bangsa mencintai bahasa dan sastra.

Ketika seorang mahasiswa ragu dengan kemampuannya mengajar cerita rakyat di kelas, dosen mungkin berkata, "Cerita rakyat itu seperti sungai, biarkan mengalir dan anak-anak akan ikut hanyut dalam pesonanya." Kalimat sederhana itu, disampaikan dengan tulus, bagaikan benih yang tumbuh menjadi keberanian untuk berkreasi di ruang kelas.

Menjadi inspirator di jurusan PBSI bukan tanpa tantangan. Dosen kerap berhadapan dengan anggapan bahwa bahasa dan sastra adalah bidang “kurang prestisius” dibandingkan jurusan seperti teknologi atau kedokteran. Ditambah lagi, tumpukan tugas administrasi dan keluhan mahasiswa seperti, “Buat apa belajar sastra kuno, bu?” bisa menguras energi.

Namun, dosen inspiratif punya kepekaan untuk melihat mahasiswa sebagai individu yang sedang mencari makna. Dengan sedikit humor—mungkin menyelipkan sindiran, “Kalau tak paham puisi, nanti surat cinamu cuma kayak chat template”—mereka mampu menegur sambil mengajak mahasiswa menemukan keajaiban kata. Kepekaan ini adalah seni yang menjadikan dosen lebih dari sekadar pengajar, tetapi juga sahabat belajar.

Peran dosen sebagai inspirator juga terlihat dari cara mereka mendorong mahasiswa untuk menghidupkan bahasa dan sastra di luar kelas. Seorang dosen pernah menantang mahasiswa membuat proyek mengajarkan dongeng lokal kepada anak-anak SD, sesuatu yang awalnya terasa seperti “tugas tambahan yang melelahkan.”

Namun, ketika melihat anak-anak bersorak sambil menciptakan dongeng tentang lingkungan mereka, mahasiswa menyadari bahwa bahasa adalah jembatan budaya yang tak lekang oleh zaman. Dosen seperti ini adalah pelukis yang mengajak mahasiswa melukis dunia dengan kata-kata, menunjukkan bahwa ilmu bahasa dan sastra adalah alat untuk menginspirasi generasi mendatang, baik di kelas maupun di komunitas.

Dosen PBSI adalah penabur benih cinta pada bahasa dan budaya, yang tak selalu melihat hasil panennya. Mereka mungkin tak tahu bahwa nasihat mereka di ruang dosen telah membuat seorang mahasiswa berani menulis puisi pertamanya, atau bahwa cara mereka mengajar tembang macapat telah menginspirasi seorang calon guru untuk mengajarkan kreativitas kepada murid-muridnya.

Itulah keajaiban peran mereka: meninggalkan warisan tak kasat mata yang terus hidup dalam kelas-kelas masa depan. Kepada para dosen yang masih bersedia berbagi cerita, tawa, dan semangat di tengah kerepotan—terima kasih. Kalian adalah nyala api yang membuat bahasa dan sastra Indonesia tak hanya dipelajari, tetapi juga dicintai.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak