Seberapa Perlu Adegan Seks dalam Film?

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Seberapa Perlu Adegan Seks dalam Film?
Ilustrasi Cinema (Pexels)

Setiap kali nonton film, terutama film barat atau festival, tiba-tiba muncul adegan seks, reaksi pertama biasanya bukan malu atau risih, tapi bertanya dalam hati, "Emang ini perlu, ya?"

Jujur saja, adegan seks dalam film itu kayak bumbu yang tricky. Bisa bikin cerita jadi lebih dalam, lebih jujur, dan lebih manusiawi. Namun, bisa juga terasa maksa, tempelan, bahkan bikin penonton malah kehilangan koneksi emosional ke karakter. Yang awalnya ikut hanyut dalam konflik, tiba-tiba terlempar keluar karena adegan itu terasa seperti ‘iklan’ yang nggak nyambung.

Kalau ditanya kenapa adegan seks dimasukkan dalam film, ya jawabannya bisa macam-macam.

Pertama, karena alasan realisme. Seks adalah bagian dari hidup. Kita bisa bilang ‘nggak nyaman’, tapi faktanya, hubungan fisik adalah bagian dari dinamika manusia; cinta, nafsu, kesepian, bahkan kekuasaan. Di dunia nyata, banyak perasaan yang diekspresikan lewat tubuh. Film, sebagai medium seni dan cermin kehidupan, kadang memilih untuk jujur sepenuhnya. Apalagi kalau film itu memang menggali psikologi karakter secara dalam, seks bisa jadi alat penceritaan yang kuat.

Contohnya, coba lihat film-film dari Eropa. Cenderung lebih berani dan bebas dalam menggambarkan tubuh dan seksualitas, bukan karena ingin ‘nakal’, tapi karena mereka percaya tubuh juga bisa bercerita. Bahkan dalam film-film yang di antaranya: ‘Blue is the Warmest Color’, ‘In the Mood for Love’ (walau subtil), atau ‘Call Me by Your Name’, keintiman antar karakter terasa sangat manusiawi dan jujur, bukan asal buka baju.

Kedua, ada juga alasan komersial. Ini bagian yang sering bikin penonton skeptis. Beberapa film jelas memasukkan adegan seks sebagai bagian cara tercepat buat menarik perhatian. Apalagi di era internet sekarang, potongan adegan kayak gitu gampang banget viral. Ini bisa jadi strategi pemasaran diam-diam. Kasih satu adegan yang ‘mengundang’, biar orang ngomongin. Ups!

Dan justru dari situlah, kita bisa bedain mana film yang benar-benar pakai adegan seks buat memperdalam cerita, dan mana yang cuma buat sensasi. Kadang penonton sudah bisa merasakan kok, mana yang natural, mana yang jualan.

Ketiga, seks sebagai simbol atau metafora. Ini lebih sering muncul di film-film arthouse atau indie. Kadang seks ditampilkan bukan buat menggambarkan keintiman, tapi justru buat menunjukkan kehancuran, kehampaan, atau konflik batin. Seks yang dingin, kasar, atau canggung bisa jadi lambang dari kekosongan emosional tokohnya. Dan adegan semacam itu bisa powerful banget, kalau dieksekusi dengan matang. Misalnya, Film The Handmaiden atau Film Shame, menyampaikan keresahan eksistensial lewat tubuh dan relasi fisik yang rumit bila disampaikan dengan kata-kata. 

Namun sayangnya, nggak semua filmmaker punya sensitivitas kayak gitu. Banyak juga yang jatuh ke jebakan klise. Seperti halnya, karakter jatuh cinta terus lanjut ke adegan ranjang. Padahal bisa saja diekspresikan lewat gesture kecil, dialog, atau momen diam yang sarat makna. 

Film Asia, khususnya Jepang dan Korea, sering menunjukkan momen cinta dengan indah. Keintiman disiratkan lewat air mata yang jatuh, tangan yang nggak sengaja bersentuhan, atau pelukan canggung yang terasa lebih menyentuh dari seribu ciuman.

Nah, kalau dari sisi penonton, ini juga soal konteks budaya. Di Indonesia, adegan seks masih dianggap hal sensitif. Penonton seringkali merasa nggak nyaman, apalagi kalau nontonnya rame-rame. Aku ngerti sih, karena kita besar di lingkungan yang penuh norma dan batas. 

Buatku pribadi, seks dalam film itu bukan masalah ‘harus ada’ atau ‘harus dihindari’, tapi lebih ke ‘apa fungsinya?’ Kalau adegan seks ada sebagai bagian dari perjalanan karakter, sebagai ekspresi emosional yang jujur, atau sebagai simbol cerita, ya silakan saja. Namun, kalau hanya jadi gimmick atau pemanis kosong, jujur saja, aku lebih milih adegan itu dihapus.

Dan sebenarnya, film yang baik itu bukan soal seberapa banyak yang ditunjukkan, tapi seberapa dalam yang bisa dirasakan. Adegan seks yang subtil, atau bahkan cuma disiratkan, kadang jauh lebih kuat ketimbang yang ditampilkan gamblang. Karena di situlah daya pikat sinema, bikin kita merasa, nggak cuma melihat. 

Akhir kata, bijaklah memilih tontonan!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak