Tren "In This Economy": Gaya Hidup Minimalis Jadi Pilihan Anak Muda

Hayuning Ratri Hapsari | Umi Khoiriyah
Tren "In This Economy": Gaya Hidup Minimalis Jadi Pilihan Anak Muda
Ilustrasi hidup minimalis [freepik/jcomp]

Di tengah gempuran konten hedon, tren jajan kekinian, sampai konser yang datang silih berganti, ada satu kalimat yang sering muncul di media sosial yaitu In this economy. Kalimat ini bukan sekadar sindiran, tapi bentuk kesadaran baru anak muda soal realitas ekonomi yang makin bikin kepala pusing.

Beberapa tren yang muncul misalnya, “In this economy, lebih milih buat hemat budget skincare”, “In this economy, kita perlu bijak dalam mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu”.

Kalimat yang singkat ini bukan sekadar lelucon, tapi jadi refleksi keresahan generasi muda soal realitas ekonomi hari ini. Harga kebutuhan pokok naik, biaya hidup makin tinggi, sementara penghasilan masih jalan di tempat.

Dengan kondisi seperti ini, nggak heran kalau banyak anak muda yang akhirnya memilih mengubah gaya hidup, bukan karena ikut-ikutan tren tapi karena memang harus mulai realistis sama hidup. Kalau dulu sering nongkrong di kafe, belanja impulsif dan beli jajan tiap hari, sekarang mulai mikir dua kali buat melakukan itu.

Dari FOMO ke Gaya Hidup Minimalis

Kalau dulu hidup serba FOMO (Fear of Missing Out), sekarang banyak yang lebih milih JOMO (Joy of Missing Out). Bukan karena males ikut tren, tapi karena sadar bahwa ikut-ikutan gaya hidup konsumtif cuma bikin dompet tipis dan mental stres.

Alih-alih ngopi di kafe setiap hari, mereka lebih milih seduh kopi di rumah. Liburan mendadak diganti dengan staycation murah meriah atau cukup rebahan sambil nonton series favorit. Barang-barang branded diganti dengan opsi secondhand atau lokal yang lebih ramah dompet.

Gaya hidup minimalis bukan berarti serba kekurangan, tapi fokus pada hal-hal yang esensial dan benar-benar dibutuhkan. Pilihan ini jadi bentuk perlawanan terhadap tekanan sosial untuk selalu tampil mampu, padahal kondisi berkata sebaliknya.

Hidup Minimalis Bukan Karena Pelit, tapi Karena Paham Realita

Generasi muda hari ini hidup di tengah kondisi ekonomi yang nggak gampang. Banyak yang gajinya pas-pasan tapi biaya hidup naik terus, harus bantu keluarga, masih struggling cari kerja, dan punya tanggungan lain.

Mereka mulai sadar kalau menjaga kestabilan finansial jauh lebih penting daripada mengejar gengsi. Prinsip “in this economy” jadi semacam alarm otomatis buat pengingat “Kalau nggak penting-penting amat, tahan dulu deh.”

Hidup minimalis kini nggak lagi dianggap kuno atau membosankan. Justru jadi bentuk kedewasaan dan keberanian untuk bilang cukup. Kini, makin banyak anak muda yang mulai belajar buat anggaran bulanan biar nggak boncos dan bisa mengelola pengeluaran dengan baik.

Ada juga yang berusaha buat cari penghasilan tambahan dari freelance atau jualan produk digital. Dan mulai berani buat bilang “nggak” sama ajakan yang nggak sejalan sama kondisi keuangan yang dimiliki.

Minimalis adalah Bentuk Perlawanan yang Cerdas

Di tengah dunia yang terus mendorong konsumsi dan pencitraan, memilih hidup minimalis adalah bentuk perlawanan yang cerdas. “In this economy” bukan cuma candaan sarkastik, tapi membuktikan kalau setiap orang berhak buat hidup tenang tanpa perlu mengeluarkan uang berlebihan.

Karena pada akhirnya, bukan siapa yang paling banyak punya, tapi siapa yang paling bisa bertahan dengan waras, cukup, dan tetap bisa hidup dengan layak. Tren ini bukan berarti semua harus hidup susah. Tapi justru memperlihatkan bahwa makin banyak anak muda yang berani bilang, “aku cukup dengan apa yang aku punya,” dan itu keren.

Hidup prihatin bukan soal menolak kesenangan, tapi tentang tahu batas, tahu kondisi, dan tahu apa yang benar-benar penting. Bukan berarti harus pelit sama diri sendiri, tapi lebih bijak buat mikirin prioritas daripada kesenangan sesaat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak