Prabowo Tunjuk Jenderal BIN Jadi Dirjen Bea Cukai: Loyalitas di Atas Kompetensi?

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Prabowo Tunjuk Jenderal BIN Jadi Dirjen Bea Cukai: Loyalitas di Atas Kompetensi?
Letjen TNI Djaka Budi Utomo (kemhan.go.id)

Presiden Prabowo baru saja menunjuk Letjen TNI Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai, menggantikan Askolani.

Buat kamu yang jarang mengikuti birokrasi, mungkin ini terdengar biasa saja. Tapi tunggu dulu. Ini bukan kayak ganti kapten tim futsal kampus. Ini soal seorang jenderal aktif dari Badan Intelijen Negara (BIN) yang tiba-tiba pindah ke kursi panas urusan cukai dan kepabeanan, bagian penting dari sistem ekonomi negara.

Banyak yang langsung nanya, “Loh, ini jabatan teknis di bidang keuangan, kok yang ngisi tentara?”

Apakah ini bagian dari strategi "semua bisa TNI"? Atau memang Bea Cukai sekarang udah dianggap zona perang?

Kita tahu bahwa Bea dan Cukai selama ini memang penuh tantangan. Dari penyelundupan, penggelapan, sampai praktik pungli di pelabuhan, semuanya butuh pengawasan ketat dan orang yang berani ambil tindakan tegas. Tapi apakah solusi terbaiknya adalah menaruh militer aktif di posisi puncak lembaga sipil?

Masuknya Djaka, yang latar belakangnya bukan di keuangan atau perpajakan, memicu banyak pertanyaan. Apalagi kalau kita melihat ini bukan kali pertama institusi militer "dipanggil" masuk ke lembaga-lembaga sipil. Sebelumnya, ada pula TNI yang masuk ke BUMN, kementerian, bahkan sempat ada wacana penempatan di kampus-kampus.

Tentu, pemerintah bilang ini demi efektivitas dan penguatan penegakan hukum. Tapi, apa tidak ada orang dari dalam Kementerian Keuangan—dengan pengalaman bertahun-tahun—yang cukup kapabel untuk posisi ini?

Jangan-jangan, pilihan ini bukan soal kompetensi, tapi loyalitas politik. Atau mungkin ini bagian dari distribusi kekuasaan usai pemilu, bagi-bagi jabatan, asal orangnya "satu komando"?

Buat kamu yang pernah magang atau kerja sambilan di kantor, kamu tahu kan rasanya ketika ada "anak titipan" bos yang tiba-tiba dapat posisi strategis padahal skill-nya belum tentu cocok?

Ya, kira-kira begitulah perasaan banyak orang sekarang melihat posisi Dirjen Bea Cukai diisi bukan oleh ahli fiskal, tapi intelijen militer.

Kita gak bilang seorang perwira militer pasti gak bisa kerja di bidang sipil. Tapi, posisi Dirjen Bea Cukai bukan cuma soal ketegasan atau kemampuan intelijen. Ini soal kebijakan fiskal, perdagangan internasional, tarif cukai, dan pengelolaan sumber penerimaan negara. Tahun 2023 aja, Bea dan Cukai menyumbang Rp 304,34 triliun ke APBN, tentu bukan angka receh.

Jadi bagaimana kita bisa berharap pada reformasi sistemik kalau posisi strategis seperti ini malah jadi ajang eksperimen?

Gimana perasaan pegawai sipil yang udah belasan tahun kerja di Kemenkeu, ikut semua pelatihan, ujian, dan assessment, tapi ujung-ujungnya jabatan puncak tetap diisi orang luar, yang bahkan latar belakangnya sama sekali bukan ekonomi?

Di media sosial, sindiran warganet langsung muncul. "Ternyata 19 juta lapangan kerja yang dijanjikan bukan untuk rakyat biasa, tapi buat TNI," tulis salah satu netizen. Lucu? Iya. Tapi juga menyakitkan.

Karena di balik candaan itu ada kenyataan bahwa banyak warga sipil masih susah cari kerja, sementara perwira aktif bisa dapat posisi sipil dengan gaji ganda. Transparansi soal rangkap jabatan dan gaji ganda ini pun jarang dibuka ke publik.

Kita tahu, ekonomi sedang tidak dalam kondisi terbaik. Pengangguran masih tinggi, khususnya di kalangan muda. Tapi alih-alih membuka peluang bagi warga sipil berbakat, justru kursi strategis makin banyak diisi mereka yang sudah punya posisi aman di struktur militer. Jadi, ke mana sebenarnya arah demokrasi dan meritokrasi kita?

Kritik ini bukan soal membenci tentara. Ini soal menjaga batas antara sipil dan militer, antara keahlian dan kekuasaan. Negara demokratis sehat kalau sipil memimpin, dan militer menjalankan fungsi pertahanannya.

Kalau kamu masih mikir, “Ya udahlah, yang penting kerjanya bagus,” coba pikir lagi deh. Kalau kita terima satu-dua jabatan sipil diisi militer tanpa latar belakang teknis yang cocok, lama-lama kita normalisasi praktiknya.

Besok-besok, bisa aja Dirjen Pajak dari Komandan Resimen. Atau kepala sekolah dari Korps Marinir. Absurd? Mungkin. Tapi banyak hal absurd dulu juga berawal dari "ya udahlah."

Anak muda sering dianggap cuek sama urusan birokrasi dan jabatan publik. Tapi justru karena kita yang akan hidup paling lama di negeri ini, penting buat terus tanya, apakah orang yang ditunjuk benar-benar ahli? Apakah kebijakan ini berpihak ke rakyat, atau cuma buat jaga-jaga kekuasaan?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak