“Cantik sih, tapi sayang nggak pintar.”
“Terlalu pintar, yang ada bikin cowok minder, santai aja kali.”
“Kalau terlalu ambisius, nanti nggak ada yang mau.”
Komentar-komentar di atas tanpa sadar sering mampir di telinga setiap perempuan. Perempuan yang setengah mati mengukir pendidikannya, perempuan yang berjuang untuk bisa tampil percaya diri, dan perempuan yang berusaha untuk mencapai mimpi-mimpinya.
Beberapa orang mungkin menganggap itu hanya komentar biasa, namun hal inilah yang apabila dibiarkan menjadi akar masalah tentang bagaimana dunia memandang perempuan.
Sejak kecil, perempuan diajarkan untuk tampil menarik, tetapi tidak boleh terlalu mencolok. Mereka diminta untuk menjadi perempuan yang cerdas, tetapi tidak boleh berlebihan.
Akhirnya, banyak perempuan tumbuh dengan beban-beban sosial, sepanjang hidupnya ia harus memilih untuk bisa menjadi cantik atau menjadi cerdas. Seolah-olah hal ini tidak bisa dimiliki perempuan secara beriringan. Bukan karena mereka tidak mampu, melainkan dunia sering kali tidak memberikan ruang.
Lalu, apakah perempuan benar-benar harus memilih satu dari dua hal tersebut? Mengapa perempuan yang cantik selalu jadi sasaran orang-orang tak bertanggung jawab, lalu mengapa perempuan yang cerdas harus mengalah untuk kenyamanan seorang laki-laki?
Pada dasarnya, perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, artikel ini mengajak kita untuk menelaah kembali cara kita memandang perempuan, tidak hanya sebagai sosok yang harus memilih satu sisi dari dirinya, tetapi sebagai individu utuh yang berhak bersinar di mana saja.
Standar Ganda dalam Menilai Perempuan
Perempuan sering kali diukur dengan dua timbangan yang saling bertolak belakang. Ketika seorang perempuan tampil menarik, ia mudah dicap hanya mengandalkan penampilan. Namun, saat ia menunjukkan kecerdasan dan pendapat kritis, ia dianggap terlalu agresif atau bahkan tidak feminin.
Standar ganda ini tidak hanya membingungkan, tetapi juga menyakitkan, karena membuat perempuan merasa perlu menyembunyikan sebagian dari dirinya untuk bisa diterima.
Di ruang publik, mereka dituntut tampil percaya diri tapi tidak mendominasi, tampil rapi tapi tidak terlalu mencolok, pintar tapi tidak membuat orang lain merasa terintimidasi. Semua tuntutan ini menciptakan tekanan psikologis yang terus-menerus dan melelahkan.
Peran Budaya dan Sosialisasi Sejak Dini
Sejak usia dini, perempuan kerap diarahkan untuk lebih peduli pada penampilan daripada isi pikiran. Mainan, tayangan media, hingga cara orang dewasa memuji anak perempuan lebih sering berpusat pada kecantikan fisik ketimbang prestasi atau keberanian mereka.
Ketika tumbuh dewasa, nilai-nilai ini melekat dan terbawa dalam interaksi sosial, pendidikan, bahkan dunia kerja. Sering kali, perempuan yang terlalu kritis atau berprestasi justru dikucilkan atau dinilai “tidak tahu tempat”.
Budaya patriarki yang masih mengakar memperkuat narasi bahwa perempuan ideal adalah mereka yang tidak mengancam dominasi laki-laki, baik dalam kecantikan maupun kecerdasan.
Mengembalikan Hak Perempuan untuk Menjadi Utuh
Sudah saatnya kita menolak narasi yang memaksa perempuan untuk memilih menjadi satu hal saja. Perempuan berhak menjadi cantik, pintar, kuat, lembut, ambisius, dan penuh kasih, semua dalam satu tubuh yang sama.
Dunia tidak akan runtuh karena perempuan bersinar di berbagai aspek, justru dunia akan tumbuh lebih adil dan seimbang. Edukasi, representasi media yang positif, serta dukungan dari sesama perempuan maupun laki-laki sangat diperlukan untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan menjadi dirinya sendiri. Bukan sekadar menawan atau menginspirasi, tetapi sepenuhnya utuh.
Perempuan tidak seharusnya dipaksa berdiri di persimpangan dan memilih antara menawan atau menginspirasi. Dunia yang adil seharusnya memberi ruang bagi perempuan untuk mengeksplorasi seluruh potensi dirinya tanpa rasa takut akan penilaian dan batasan.
Ketika perempuan diberi kebebasan untuk menjadi dirinya seutuhnya, baik secara fisik, intelektual, maupun emosional, maka masyarakat pun akan menuai dampak positifnya.
Sudah waktunya kita mengubah narasi, bukan dengan meminta perempuan untuk mengecilkan diri, tetapi dengan memperluas pemahaman kita tentang keberagaman cara menjadi perempuan. Karena sesungguhnya, menjadi cantik dan pintar bukanlah hal yang saling meniadakan, melainkan kekuatan yang saling melengkapi.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS