Setiap kali kasus perselingkuhan mencuat ke publik, reaksi masyarakat hampir bisa ditebak. Jika pelaku laki-laki, ia sering kali dianggap "khilaf", "manusia biasa", atau bahkan dipuji karena masih “laku” meski sudah menikah.
Namun jika pelakunya perempuan, hujatan datang bertubi-tubi, mulai dari “perempuan nggak tahu diri!”, “istri durhaka!”, atau “perempuan memang penggoda!” Seolah-olah, semua kesalahan selalu bermuara pada perempuan, baik sebagai pelaku maupun sebagai pihak ketiga.
Fenomena ini bukan hal baru. Di balik respons publik tersebut, tersembunyi sebuah sistem yang sudah lama mengakar dalam masyarakat, yaitu budaya patriarki.
Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan, otoritas, dan penentu moral. Dalam sistem ini, perempuan dianggap subordinat, harus tunduk, dan menjadi penjaga moral keluarga.
Maka ketika terjadi perselingkuhan, perempuanlah yang paling dulu dicurigai dan disalahkan, bahkan sebelum kebenaran terungkap.
Dua Standar dalam Menilai Kesalahan
Budaya patriarki menciptakan standar ganda yang sangat jelas. Ketika laki-laki berselingkuh, masyarakat cenderung mencari alasan yang memaklumi, seperti “mungkin istrinya kurang perhatian,” atau “wajar, laki-laki itu memang fitrahnya poligami.”
Sementara itu, jika perempuan yang berselingkuh, ia langsung divonis sebagai perusak rumah tangga, tak bermoral, dan tak layak diberi ampun. Padahal, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya sama-sama manusia yang punya kehendak dan tanggung jawab moral.
Standar ganda ini berbahaya karena membentuk pemakluman terhadap perilaku tidak setia yang dilakukan laki-laki, sekaligus memperkuat kontrol sosial terhadap tubuh dan moral perempuan.
Akibatnya, laki-laki merasa lebih bebas bertindak tanpa takut dihukum sosial, sedangkan perempuan dibebani ekspektasi tinggi untuk menjaga kehormatan, bahkan dalam kondisi tidak adil sekalipun.
Perempuan sebagai Korban dan Kambing Hitam
Hal yang lebih menyedihkan, tak jarang perempuan yang menjadi korban justru ikut disalahkan. Misalnya, ketika seorang suami selingkuh, sang istri malah dianggap kurang menarik, tidak pandai merawat diri, atau terlalu sibuk bekerja. Sementara si suami, yang jelas melakukan pengkhianatan emosional, malah diberi simpati.
Dalam situasi ini, perempuan menjadi korban sekaligus kambing hitam. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang sering tidak disadari karena dianggap “sudah biasa” atau “begitulah dunia”.
Banyak perempuan yang akhirnya memendam luka ganda, seperti dikhianati oleh pasangan, dan disudutkan oleh masyarakat. Mereka dipaksa diam, menerima, dan memaafkan atas nama menjaga keharmonisan rumah tangga.
Padahal, dampak emosional yang mereka alami sangat besar, dan jarang mendapat ruang untuk diakui ataupun dipulihkan secara adil.
Menggugat Cara Pandang Lama
Sudah saatnya kita menggugat cara pandang lama ini. Kita perlu berhenti melihat perselingkuhan dari kacamata patriarki yang timpang. Dalam setiap kasus, penilaian seharusnya dilakukan secara adil dan seimbang, tanpa bias gender. Baik laki-laki maupun perempuan harus dipandang sebagai subjek yang setara dalam tanggung jawab dan konsekuensi.
Perubahan cara pandang harus dimulai dari lingkungan terkecil, seperti keluarga dan sekolah, dengan pendidikan kesetaraan gender dan empati sejak dini. Masyarakat juga perlu diberi ruang untuk berdiskusi secara kritis tentang konstruksi sosial yang merugikan salah satu pihak, agar tidak terus terjebak dalam pola pikir usang yang diskriminatif.
Menyalahkan perempuan setiap kali ada kasus perselingkuhan hanyalah satu dari sekian banyak contoh ketidakadilan dalam budaya patriarki. Untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan manusiawi, kita perlu membongkar narasi-narasi lama yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang selalu bersalah.
Perselingkuhan bukan soal jenis kelamin, tapi soal pilihan dan tanggung jawab. Sudah saatnya kita mulai menilai persoalan ini dengan hati yang adil, bukan dengan prasangka yang diwariskan dari sistem yang timpang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS