Saya lahir dan besar di sebuah kota kecil di pesisir utara Pulau Sumatra, di mana bau laut adalah teman harian dan ikan segar selalu tersedia di pasar tradisional. Sejak kecil, saya sudah terbiasa dengan hidangan laut. Ikan bakar, sop kepala ikan, hingga sambal cumi, semuanya akrab di lidah saya.
Namun dari semua itu, pepes ikan buatan ibu selalu punya tempat khusus di hati saya. Rasanya bukan hanya nikmat, tapi juga menyimpan rasa cinta yang dalam, rasa rumah, dan rasa tenang yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Ketika saya memutuskan untuk melanjutkan studi di Yogyakarta, saya datang dengan semangat baru. Kota ini memang istimewa. Budaya, orang-orangnya yang ramah, dan beragam kulinernya membuat saya kagum.
Gudeg yang manis, bakmi Jawa yang hangat, sate klathak yang unik, semuanya saya coba dan nikmati. Namun lambat laun, saya menyadari bahwa ada satu rasa yang hilang dari keseharian saya: rasa ikan, terutama pepes!
Di warung-warung makan sekitar kampus, sangat jarang saya temui menu ikan. Hampir setiap sudut kota ini dipenuhi dengan makanan khas Yogyakarta yang memang menggugah selera, tetapi tetap saja terasa ada ruang kosong yang tak bisa diisi.
Mayoritas warung hanya menyediakan ayam goreng, ayam penyet, telur balado, atau olahan daging sapi. Sesekali memang ada yang menjual ikan, tetapi biasanya hanya digoreng kering dan disajikan seadanya, tanpa bumbu yang meresap atau cara pengolahan yang memperhatikan rasa dan tekstur.
Saya pernah mencoba ikan goreng dari beberapa tempat, berharap bisa sedikit mengobati kerinduan. Namun, rasanya selalu sama: hambar, terlalu berminyak, dan jauh dari harapan.
Tidak ada sensasi rempah-rempah yang kaya, tidak ada daun pisang yang harum saat dibuka, dan tentu saja tidak ada rasa "rumah" dalam setiap gigitannya.
Tak satu pun dari masakan itu yang bisa menandingi pepes ikan, masakan sederhana namun penuh cinta yang biasa disajikan ibu di rumah.
Pepes itu bukan hanya soal rasa, tapi juga pengalaman: membukanya perlahan dari bungkus daun pisang, menghirup aroma bumbunya, hingga menyantapnya hangat-hangat bersama nasi putih dan sambal.
Saya sempat berpikir, mengapa begitu sulit menemukan masakan ikan di sini? Padahal Yogyakarta juga memiliki sungai dan akses ke pasar yang tak kalah ramai.
Mungkin karena selera masyarakat setempat memang lebih akrab dengan daging ayam atau sapi, atau mungkin karena memasak ikan, apalagi pepes, membutuhkan ketelatenan yang tidak semua orang punya.
Namun terlepas dari alasannya, saya merasa seperti kehilangan bagian dari identitas saya sendiri. Makanan yang dulu begitu mudah saya dapatkan kini terasa langka dan mahal, bukan dalam arti harga, tapi dalam arti emosional.
Rindu saya pada rumah, pada ibu, dan pada pepes ikan, makin lama makin menumpuk. Setiap kali melewati warung makan atau kantin kampus, saya selalu menengok papan menunya, berharap ada keajaiban kecil, barangkali hari itu mereka menyediakan pepes ikan. Tapi itu hampir tak pernah terjadi.
Rasanya seperti mencari harta karun yang tak tercatat di peta. Dan dari hari ke hari, rasa kangen itu menjelma jadi kerinduan mendalam yang sulit diungkapkan, kecuali lewat panci, daun pisang, dan bumbu dapur yang saya racik sendiri dengan harapan bisa meniru rasa buatan ibu.
Puncaknya, suatu malam ketika hujan turun deras dan udara dingin merayap ke dalam kos-kosan saya, rasa rindu itu menjadi terlalu berat untuk ditanggung.
Saya pergi ke pasar tradisional keesokan harinya dan membeli ikan nila, daun pisang, dan bumbu-bumbu seadanya. Saya menghubungi ibu lewat telepon, menanyakan resep pepes yang selama ini hanya saya nikmati tanpa pernah mempelajarinya. Ibu tertawa kecil dan dengan sabar menjelaskan langkah demi langkah, seolah kami sedang memasak bersama.
Proses memasaknya penuh perjuangan. Dapur kos yang sempit, peralatan yang minim, dan keterbatasan bahan membuat saya harus berimprovisasi.
Namun saat aroma harum dari kukusan mulai memenuhi ruangan, hati saya hangat. Saat saya mencicipi hasilnya, meski tidak seautentik buatan ibu, rasanya cukup untuk menenangkan hati. Saya merasa seperti pulang.
Sejak saat itu, saya menjadikan pepes ikan sebagai ritual kecil. Setiap kali saya merasa lelah, rindu, atau kehilangan arah di perantauan, saya memasak pepes ikan untuk mengingatkan diri sendiri tentang asal saya dan untuk memberi semangat agar tetap bertahan. Makanan ini bukan sekadar masakan, tapi pengikat kenangan dan penyembuh rindu.
Merantau di Yogyakarta mengajarkan saya bahwa hal-hal kecil seperti sepiring pepes ikan bisa menjadi sumber kekuatan. Ia membawa cerita panjang tentang rumah, kasih sayang ibu, dan perjalanan saya mencari arti baru dari kata “rumah” di tengah kota rantau.