Lingkaran Setan Upah Minimum: Tertinggal dari Tetangga, Tergerus Inflasi

M. Reza Sulaiman | Budi Prathama
Lingkaran Setan Upah Minimum: Tertinggal dari Tetangga, Tergerus Inflasi
Ilustrasi upah kerja. (Pixabay.com/@sallyjermain)

Perdebatan soal upah minimum di Indonesia selalu terasa seperti drama yang tak pernah selesai. Tahun berganti, ceritanya tetap sama. Buruh turun ke jalan dengan harapan perubahan, pengusaha mengeluh tak sanggup bertahan, dan pemerintah mencoba menengahi, tetapi hasil akhirnya selalu terasa pahit. Kita seperti terjebak dalam lingkaran yang tak punya pintu keluar.

Lihat saja betapa timpangnya upah antarprovinsi. Di Jakarta, UMP mencapai lebih dari Rp5,3 juta, sementara di Jawa Tengah bahkan belum menyentuh Rp2,2 juta. Perbedaan sebesar itu bukan sekadar soal biaya hidup. Ada tarik-menarik kekuasaan, ada kepentingan yang tak terlihat, dan ada politik yang ikut menentukan nilai kerja seseorang. Hal itu menyakitkan karena harga diri pekerja seolah ditentukan oleh wilayah, bukan kebutuhan hidupnya.

Dari 38 provinsi, hanya delapan yang UMP-nya menembus Rp3 juta. Artinya, sebagian besar pekerja Indonesia masih berjuang setiap hari dengan pendapatan yang pas-pasan. Di negara tetangga, upah minimum sudah jauh lebih tinggi. Malaysia, Vietnam, dan Thailand semuanya melaju. Kita tertinggal, padahal keringat pekerja kita tidak pernah kalah deras.

Ironisnya, hampir 60% pekerja kita berada di sektor informal yang tidak merasakan perlindungan UMP sama sekali. Mereka bekerja keras dari pagi hingga malam, tetapi hak mereka seolah tak dianggap. Dari seluruh pekerja formal yang katanya dilindungi UMP, hanya sebagian kecil, sekitar 16%, yang betul-betul menerima upah sesuai aturan. Banyak perusahaan yang membayar di bawah standar dan pengawasan masih lemah. Seolah-olah, usaha pekerja menjaga hidupnya dianggap bisa dinegosiasikan.

Sementara itu, inflasi terus menggerogoti penghasilan mereka. Harga beras naik, minyak naik, ongkos naik. Angka inflasi di atas kertas mungkin hanya 2–3%, tetapi kenyataan di pasar sering kali dua kali lipat. Daya beli pekerja pun makin jatuh. Banyak keluarga yang harus pintar-pintar mengatur uang di bawah Rp3 juta per bulan, padahal kebutuhan layak di kota besar butuh setidaknya Rp4–5 juta. Di sinilah kita melihat jurang yang makin lebar antara harapan yang tinggi dan pendapatan yang tak bergerak.

Peraturan baru PP 51/2023 yang seharusnya memperbaiki sistem upah malah membuat bingung. Ada rumus baru, ada indeks alfa yang nilainya ditentukan dewan pengupahan. Sayangnya, dewan ini pun tidak lepas dari kepentingan politik kepala daerah. Pada akhirnya, penetapan UMP sering kali bukan soal nasib pekerja, melainkan soal citra dan kepentingan jangka pendek.

Negara lain punya sistem yang lebih tegas dan transparan. Malaysia punya upah minimum nasional yang jelas. Vietnam membagi zona upah berdasarkan kemajuan daerah. Thailand punya komite yang bekerja dengan data, bukan drama politik. Sementara itu, kita masih berkutat dengan tarik ulur yang sama dari tahun ke tahun.

Yang makin menyakitkan adalah lemahnya penegakan aturan. Dari puluhan ribu perusahaan yang diperiksa tiap tahun, hanya sebagian kecil yang mendapat sanksi, padahal banyak pekerja yang digaji di bawah batas minimum. Mereka tahu ini tidak adil, tetapi suara mereka sering tak didengar.

Jeffrey Sallaz, dalam bukunya, menulis bahwa dalam sistem kapitalisme, tenaga manusia diperlakukan seperti barang dagangan. Pekerja hanya dianggap sebagai angka dalam laporan produksi. Jika keterampilan mereka tak lagi dibutuhkan, mereka bisa tersingkir begitu saja. Itulah yang terjadi pada banyak pekerja kita.

Era digital membuat kondisi ini semakin terasa. Lihat para pengemudi ojek online. Mereka bekerja lebih dari 10 jam sehari, tetapi penghasilannya tak lebih tinggi dari UMP. Tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada perlindungan, dan tidak ada kepastian. Ketika mereka mengeluh, platform dengan mudah menjawab, “Kami hanya perantara.” Padahal, kehidupan pekerja ada di tangan algoritma yang bisa menghapus akun kapan saja.

Upah minimum sejatinya adalah suara-suara bahwa manusia bukan mesin, bahwa kerja mereka punya nilai dan martabat. UMP adalah upaya kita untuk berkata bahwa keringat manusia tidak bisa dihargai semata-mata oleh angka dan neraca keuntungan.

Namun, kenyataan masih jauh dari harapan. Selama kepentingan politik mengalahkan kepentingan pekerja, selama aturan tidak ditegakkan, dan selama inflasi terus menekan, upah minimum akan terus menjadi luka yang belum tersentuh penyembuhannya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak