Di usia 20–30-an, banyak orang mulai dilanda kecemasan yang datang bukan dari diri sendiri, melainkan dari ekspektasi sosial. Pertanyaan klasik seperti “kapan nikah?”, “nunggu apa lagi?”, sampai “temannya udah pada nikah tuh” menjadi semacam suara latar yang selalu muncul di setiap kumpul keluarga. Lucunya, tekanan itu seolah wajar, padahal tidak ada satu pun aturan hidup yang menyatakan menikah harus di usia tertentu.
Generasi sekarang menjalani hidup di era yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Namun, tuntutan sosialnya masih memakai pola lama: sekolah, kerja, menikah, dan punya anak. Realitasnya, hidup jauh lebih rumit daripada sekadar daftar centang.
Berikut alasan kenapa urusan menikah sebenarnya tidak punya batas waktu.
1. Timeline Hidup Hanyalah Warisan Sosial, Bukan Kebenaran Universal
Banyak orang merasa harus menikah sebelum usia 30 karena norma sosial yang diwariskan turun-temurun. Dulu, menikah muda adalah hal yang logis: ekonomi lebih stabil, biaya hidup lebih rendah, dan pilihan hidup tidak sebanyak sekarang. Namun, generasi saat ini punya tantangan baru, seperti harga rumah yang makin tidak masuk akal, biaya hidup yang tinggi, sampai tekanan karier yang tidak pernah berhenti.
Karena itulah, mengikuti timeline lama sering kali terasa tidak realistis. Generasi sekarang bukan menunda karena tidak mau, tetapi karena hidupnya memang punya ritme berbeda.
2. Tekanan Menikah Mirip dengan Tuntutan Sukses Cepat
Fenomena quarter-life crisis muncul bukan hanya soal karier, tetapi juga soal status hubungan. Seakan-akan, umur 30 adalah batas waktu, padahal tiap orang punya kondisi mental, finansial, dan emosional yang berbeda.
Sama seperti orang yang dikejar-kejar pencapaian karier, banyak yang akhirnya merasa harus menikah bukan karena siap, melainkan karena takut dipandang gagal. Padahal, memaksakan diri demi memenuhi ekspektasi sosial justru membuat banyak orang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat.
3. Kita Hidup di Era Kestabilan Finansial dan Mental Lebih Krusial
Realitas anak muda sekarang jauh lebih kompleks. Banyak yang baru mulai stabil di usia akhir 20-an atau awal 30-an. Ada yang baru menemukan karier yang cocok setelah beberapa kali pindah pekerjaan. Ada juga yang masih memperbaiki kesehatan mental setelah merasakan efek burnout bertahun-tahun.
Di tengah kondisi seperti ini, memaksa diri menikah hanya demi “kelihatan normal” jelas tidak masuk akal. Pernikahan butuh energi, waktu, dan kesiapan emosional, bukan sekadar tanggal di undangan.
4. Banyak Orang Lebih Takut Salah Pilih Pasangan daripada Takut Sendirian
Generasi ini tumbuh di era ketika isu toxic relationship, gaslighting, dan perceraian makin terbuka dibicarakan. Tidak heran kalau banyak orang di usia 30-an lebih selektif, bahkan sangat hati-hati. Mereka bukan tidak ingin menikah, tetapi tidak mau mengulang pola buruk yang pernah mereka lihat atau alami.
Di dunia yang serba cepat ini, memilih pasangan justru menjadi proses yang makin perlu waktu, bukan makin instan.
5. Kebahagiaan Setiap Orang Tidak Harus Sama Timeline-nya
Ada yang bahagia menikah di usia 25, ada yang bahagia menikah di usia 38. Ada yang menemukan cinta sejatinya setelah karier mapan, ada yang masih belajar mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Tidak ada jalur yang salah selama keputusan itu diambil dengan sadar.
Hidup bukan perlombaan. Kita tidak dapat piala karena menikah paling cepat dan tidak ada hukuman karena menikah paling lambat. Semua orang punya ritme hidupnya masing-masing.
Batas Waktu Hidup Itu Hanya Ada di Kepala Orang Lain
Tekanan untuk menikah cepat adalah cerminan bagaimana masyarakat masih terjebak dalam pola pikir lama. Generasi sekarang punya cara sendiri dalam menemukan stabilitas, cinta, dan kebahagiaan. Semuanya valid.
Pada akhirnya, yang perlu dipertanyakan bukan “kapan kamu menikah?”, melainkan:
“Apa kamu sudah bahagia dengan pilihanmu hari ini?”