Bullying dan Kesehatan Mental Anak: Mengapa Sekolah Belum Menjadi Ruang Aman?

Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Bullying dan Kesehatan Mental Anak: Mengapa Sekolah Belum Menjadi Ruang Aman?
Ilustrasi bullying di sekolah (Unsplash/La Fabbrica Dei Sogni)

"Setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta terlindung dari kekerasan dan diskriminasi."

Kutipan dari Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) No. 4 Tahun 2024 ini mengingatkan kita bahwa pembentukan lingkungan positif sejak dini adalah fondasi penting bagi kesejahteraan anak di masa depan.

Namun, melansir dari Antaranews.Com data dari Kementerian PPPA pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa sebanyak 16.720 anak di Indonesia pernah mengalami tindakan bullying di sekolah, menunjukkan bahwa masih banyak anak yang merasa tidak aman secara emosional di lingkungan belajar mereka.

Bullying di sekolah adalah masalah serius yang telah menjadi perhatian banyak pihak. Perilaku bullying dapat mencakup penindasan fisik, verbal, maupun emosional, dan sering kali berdampak negatif terhadap kesehatan mental anak-anak yang mengalaminya.

Di Jawa Barat misalnya, data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 23 kasus bullying yang dilaporkan, termasuk dua kasus yang berujung pada kematian siswa akibat perundungan, 23 % diantaranya adalah terjadi di tingkat sekolah dasar.

Hal ini mencerminkan bahwa lingkungan belajar yang seharusnya aman dan mendukung, sering kali menjadi tempat yang menakutkan bagi anak-anak.

Masalah ini semakin diperparah oleh kurangnya kesadaran tentang kesehatan mental di kalangan pendidik dan orang tua, khsusunya bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah pelosok.

Banyak orang tua dan guru yang masih memandang perilaku bullying sebagai bagian dari "proses tumbuh kembang" anak, tanpa menyadari bahwa dampaknya bisa jauh lebih dalam dan berkepanjangan.

Ketidakberdayaan ini memperburuk kondisi karena berita tentang kasus bullying terkadang masih ada yang sulit untuk terangkat ke publik.

Ditambah kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan mental, sehingga respons terhadap masalah ini sering kali tidak memadai.

Bullying di sekolah adalah sesuatu yang dapat diatasi (misalnya, dengan pendidikan atau intervensi) untuk mencegah dampak negatif pada kesehatan mental anak-anak yang berpotensi menyebabkan dampak yang mungkin berlanjut hingga dewasa (Badger et al., 2023)

Banyak individu yang mengalami perundungan di masa kanak-kanak membawa tantangan kesehatan mental ini ke masa dewasa, menghadapi masalah yang berkelanjutan seperti gangguan kecemasan, depresi, hingga masalah penyalahgunaan zat berbahaya (Armitage, 2021; Moore et al., 2017).

Bullying di sekolah adalah masalah yang meresahkan dan telah berkembang menjadi isu serius di Indonesia. Masalah bullying sering kali berakar dari beberapa faktor.

Lingkungan sekolah yang tidak mendukung dan kurangnya pemahaman tentang pentingnya kesehatan mental hingga pengaruh dari lingkungan keluarga, seperti pola asuh yang kurang perhatian atau pengabaian terhadap perilaku anak, dapat memperburuk situasi ini. 

Akibatnya, anak yang mengalami bullying cenderung menutup diri, mengalami kecemasan, dan dalam beberapa kasus, bahkan mengalami depresi.

Dampak bullying tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga memengaruhi seluruh komunitas sekolah. Perilaku bullying dapat menciptakan suasana yang tidak nyaman bagi siswa lainnya, menurunkan semangat belajar, dan menciptakan ketidakstabilan emosional di lingkungan sekolah.

Melansir dari Bandungbergerak.id, dalam survei yang dilakukan oleh Universitas Islam Bandung, hampir setiap anak melaporkan pernah mengalami perundungan dalam bentuk fisik, verbal, atau psikologis.

Data menunjukkan bahwa satu anak yang melaporkan perundungan mewakili sekitar 26 anak lainnya, menandakan bahwa masalah ini sangat luas dan memerlukan perhatian serius.

Tantangan sosial yang ada dalam mengatasi masalah bullying juga tentunya sangat kompleks. Salah satunya adalah stigma terkait kesehatan mental, banyak orang tua dan masyarakat yang masih memandang negatif pada masalah psikologis.

Hal ini menghambat anak-anak yang menjadi korban bullying untuk mencari bantuan, serta menghalangi orang tua untuk mendukung anak mereka.

Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan program inovatif untuk mencegah bullying di sekolah dasar contohnya melalui pendidikan psikoedukasi dan pelatihan keterampilan sosial di tingkat persekolahan.

Dampak positifnya meliputi peningkatan kesejahteraan sosial dan kesehatan mental siswa. Solusi ini unik karena mengintegrasikan pendidikan, kesehatan mental, dan keterlibatan komunitas.

Implementasi program tersebut dapat dilakukan secara bertahap seperti dengan mengadakan pelatihan khusus bagi para pendidik, workshop untuk siswa, dan keterlibatan orang tua.

Keberhasilan program tentunya bisa diukur melalui penurunan kasus bullying, partisipasi dalam program, dan perubahan positif dalam kesehatan mental siswa.

Keberlanjutan program akan terjaga melalui pendanaan berkelanjutan, pelatihan rutin, dan evaluasi secara berkala. Keterlibatan komunitas sangat penting, dengan relawan dan organisasi lokal berkontribusi dalam pelaksanaan program ini.

Dengan menerapkan program-program seperti itu, harapannya dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung bagi generasi mendatang.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak