Menyikapi Gambaran Orientasi Seksualitas di Ruang Religius dalam Film Wahyu

Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Menyikapi Gambaran Orientasi Seksualitas di Ruang Religius dalam Film Wahyu
Poster Film Wahyu (Katalog KlikFilm)

Di Indonesia, pesantren sering dipersepsikan sebagai ruang paling steril dari ‘kenakalan duniawi’. Sudah dianggap benteng moral, tempat manusia-manusia dipagari doa, nafsu dikekang ayat, dan cinta diarahkan hanya ke Sang Pencipta. Namun, film pendek berjudul Wahyu yang disutradarai Nada Leo Prakasa muncul membongkar ilusi itu.

Iya, di balik lantunan ayat, tetap ada tubuh yang bernapas, hormon yang bergejolak, dan hasrat yang berusaha mencari jalan keluar.

Seksualitas adalah kodrat manusia. Bukan sekadar orientasi, tapi bagian paling mendasar dari kemanusiaan. Misalnya, dorongan untuk dekat, menyentuh, dimiliki, dan dicintai.

Di ruang religius seperti pesantren, seksualitas sering nggak dibicarakan, bahkan tabu disebut. Hasilnya? Nafsu yang nggak hilang itu ditekan, disembunyikan, atau mencari jalan lewat lorong-lorong gelap.

Film Wahyu menangkap persis paradoks ini. Wahyu, santri baru, bukanlah malaikat yang tiba-tiba jadi suci hanya karena dia masuk pesantren.

Dia tetap manusia dengan rasa ingin tahu, dengan keinginan seksual yang mungkin nggak tersalurkan. Bedanya, ruang di sekitarnya menutup pintu diskusi dan edukasi, membuat hasratnya hanya bisa muncul dalam bentuk penyimpangan. 

Pesantren di layar Wahyu tuh nggak sebatas latar lho, tapi benturan antara tubuh dan iman. Di siang hari dilatih disiplin salat, ngaji, wudhu. Namun, begitu malam turun, tubuh manusia dengan segala hasrat menuntut haknya.

Di sinilah Film Wahyu memperlihatkan ironinya. Mulai dari tahajud yang mestinya puncak spiritualitas, malah jadi momen dorongan hasrat paling terasa.

Dari film ini, aku melihat bagaimana ruang doa yang dianggap suci nggak serta-merta menyucikan penghuninya. Tentu, hasrat nggak mengenal ruang. Bisa tumbuh di masjid, di pesantren, bahkan di tengah doa paling khusyuk sekalipun. Inilah pesan besar film pendek ‘Wahyu’, agama jadi pagar, tapi pagar itu nggak selalu mampu meredam gejolak manusia.

Fenomena semacam ini sebenarnya nggak cuma ada di cerita fiksi. Banyak penelitian menunjukkan, ketika seksualitas ditekan habis-habisan dalam ruang religius tanpa ruang bicara sehat, sebenarnya malah akan lebih sering muncul dalam bentuk yang lebih berbahaya. Seperti halnya pelecehan, kekerasan, bahkan hubungan rahasia tanpa konsen. 

Film Wahyu dengan berani menyorot fenomena ‘nyempet’ di pesantren. Istilah yang selama ini jadi rahasia umum tapi jarang dibicarakan terbuka. Film ini jelas menantang asumsi bahwa religiusitas otomatis berarti suci.

Bahwa di balik baju koko dan sarung, manusia tetaplah manusia dengan tubuh yang nggak bisa dikurung hanya dengan ayat suci dan ceramah. Karena ketika ruang religius menolak membicarakan seks, sebenarnya tuh malah membiarkan seksualitas tumbuh liar di balik pintu. Dan dari situlah pelecehan bisa lahir.

Sobat Yoursay, penasaran nggak sih sama film pendek yang lagi bikin heboh dunia perfilman Indonesia ini? Yup, ‘Wahyu’ merupakan film berani yang mengangkat sisi gelap di balik kehidupan pesantren, yang selama ini selalu kita bayangkan sebagai ruang paling suci dan disiplin.

Kalau biasanya cerita tentang pesantren identik dengan ketenangan, doa yang khusyuk, dan santri yang rajin ibadah, ‘Wahyu’ jelas membalikkan narasi itu. Film ini menyorot bagaimana seksualitas, hasrat, dan bahkan penyimpangan, tetap bisa hadir di tempat yang dianggap paling religius sekalipun.

Film pendek berdurasi sekitar ±17 menit ini fokus pada dua karakter utama: Wahyu, santri baru yang mencoba beradaptasi, dan Cholis, santri tunarungu yang jadi saksi dari perilaku nggak senonoh.

Dari perspektif Cholis, aku diajak menyelami psikologis korban sekaligus kompleksitas pelaku, yang mengajarkan pada kita bahwa pelecehan bukan masalah orientasi, tapi soal relasi kuasa dan batasan konsensual yang dilanggar.

Meski film ini mengangkat tema berat, visualnya tetap terjaga. Adegan "nakal" dimunculkan secara minimalis, sebatas gerakan samar atau potongan visual belahan tubuh tanpa vulgaritas berlebihan. 

Yang bikin penasaran lagi, film ini ternyata ada twist di babak akhir. Cholis, yang awalnya hanya jadi saksi pasif, ternyata punya peran yang lebih signifikan dari yang kukira.

Sobat Yoursay, kalau kamu ingin merasakan sendiri ketegangan, ironi, dan renungan mendalam dari film ini, langsung saja tonton di KlikFilm. Mumpung ‘Wahyu’ masih jadi bagian dari penayangan film-film pilihan dalam rangka Jakarta World Cinema, kesempatan ini sayang banget untuk dilewatkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak