Sejauh Mana Film Memandang Materialistis Lewat Drama Percintaan?

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Sejauh Mana Film Memandang Materialistis Lewat Drama Percintaan?
Foto Promosi Film Materialists (A24)

Cinta selalu kita rayakan dengan kata-kata indah. Bahkan sering digambarkan sebagai sesuatu yang murni, bebas, dan nggak terikat apa pun. Seakan-akan, ketika hati sudah jatuh, dunia pun ikut tunduk. Namun diam-diam, ada sesuatu yang kerap kita sembunyikan di balik semua romantisme itu, yakni ‘perhitungan’. Seberapa mapan dia? Seberapa aman hidup dengannya nanti? Seberapa jauh cinta bisa bertahan ketika dunia mulai meminta bayarannya?

Film Materialists, garapan Celine Song, mengajak kita menatap jujur pada luka lama itu. Celine Song, yang sebelumnya membuai penonton lewat Film Past Lives, kali ini menyuguhkan kisah yang lebih getir dan menohok.

Dilema Filter Cinta, Swipe untuk Bahagia?

Poster Film Materialists (IMDb)
Poster Film Materialists (IMDb)

Berkisah tentang Lucy (Dakota Johnson) yang bekerja sebagai seorang matchmaker, semacam ‘mak comblang profesional’. Tugasnya menjodohkan orang, tapi yang bikin menarik adalah permintaan klien-kliennya. Mereka nggak sebatas bilang, “Aku ingin pasangan yang baik hati,” atau, “Yang bisa bikin diriku bahagia.” Permintaan mereka jauh lebih konkret, bahkan cenderung transaksional. 

Misalnya, kliennya minta pasangan yang mapan secara finansial, yang keluarganya punya reputasi baik, atau jodoh yang bisa menjamin kehidupan nyaman di masa depan.

Di titik itu, cinta diperlakukan seperti produk dalam katalog belanja online. Klien bisa memilih ‘fitur’ apa yang mereka mau dari pasangan, seolah-olah cinta punya tombol filter layaknya aplikasi belanja: ‘kaya atau nggak’, pendidikan tinggi atau rendah, keluarga terpandang atau biasa saja. Kalau ternyata pasangannya nanti nggak sesuai ekspektasi? Ya dianggap ‘barang cacat’ yang bisa ditinggalkan.

Namun, dunia Lucy terbalik saat dua pria hadir bersamaan. John (Chris Evans), mantan kekasih yang (secara ekonomi terbilang standar) tapi punya cinta tulus yang nggak pernah padam, dan Harry (Pedro Pascal), sosok kaya raya yang menawarkan kenyamanan dan rasa aman, meski mungkin nggak sedalam John dalam urusan hati. Lucy berdiri di persimpangan; di satu sisi ada getar yang jujur, di sisi lain ada janji hidup yang mapan

Materialisme di Balik Cinta

Foto Promosi Film Materialists (A24)
Foto Promosi Film Materialists (A24)

Dan di titik itulah penonton seperti bercermin. Bukankah dalam hidup nyata, kita sering berhadapan dengan dilema yang serupa? Kita mengaku ‘ingin cinta yang apa adanya’, tapi di dalam hati kecil, siapa yang nggak ingin merasa aman? Siapa yang nggak ingin bersama seseorang yang bisa menenangkan keresahan soal hari esok?

Cinta, pada akhirnya, jarang benar-benar ‘tulus’, dalam artian bebas dari pertimbangan duniawi. Kita menyebutnya matre, seringnya dengan nada sinis, seolah-olah itu buruk. Padahal, bukankah cinta juga butuh tempat tinggal, butuh makanan, butuh ruang bernapas? Kalau cinta hanya dipelihara dengan perasaan tanpa logika, lama-lama pun bisa rapuh, bisa layu lebih cepat dari yang kita kira.

Lucy mungkin hanyalah tokoh fiksi, tapi kegelisahannya adalah kegelisahan banyak dari kita. Dia ingin memeluk cinta yang membuatnya hidup, tapi dia juga takut terjebak dalam hidup yang serba sulit. Dia ingin percaya debar di hati cukup, tapi dia tahu kenyamanan juga bagian dari cinta. Dan bukankah seringkali kita juga begitu? Kita ingin membuktikan cinta bisa melawan logika, tapi toh diam-diam kita menghitung, menimbang, dan membandingkan.

Pertanyaan besarnya pun mengiang lagi. Sejauh mana cinta memandang materialistis? Apakah cinta yang sehat harus buta logika? Atau cinta yang matang adalah cinta yang berani mengaku ‘uang, kenyamanan, dan kestabilan’ memang bagian dari perjalanan bersama?

Dari film ini, aku menyimpulkan, cinta memang nggak pernah bisa sepenuhnya steril dari materialisme. Bukan berarti hilang makna hanya karena ada hitungan di dalamnya. Justru mungkin cinta jadi lebih jujur ketika mengakui adanya kebutuhan. Namun, ada garis halus yang sering kita lewati tanpa sadar. Yakni ketika cinta nggak lagi bicara soal hati, melainkan hanya soal dompet. Ketika pilihan kita bukan lagi tentang siapa yang membuat kita hidup bahagia, melainkan siapa yang membuat kita ‘terjamin’. Di situlah cinta kehilangan rohnya, menjadi sebatas kontrak sosial dengan label romantis.

Celine Song lewat Materialists seolah-olah menampar penonton dengan fakta. Bahwa semua orang, sadar atau nggak, pernah jadi Lucy. Pernah merasa terseret antara suara hati dan logika hidup. Pernah bimbang antara rasa dan angka. Pernah bertanya dalam hati, ‘Apakah kebahagiaan bisa bertahan tanpa uang?’ atau sebaliknya, ‘Apakah uang bisa benar-benar menutupi kekosongan hati?’

Mungkin, kita nggak perlu lagi pura-pura menyangkal. Cinta memang butuh kompromi. Ya, butuh hati yang berdebar, tapi juga butuh rumah untuk berteduh. Butuh tawa di meja makan, tapi juga butuh makanan yang tersaji di atasnya. Butuh pelukan hangat, tapi juga butuh tempat tidur yang cukup nyaman.

Dan mungkin, jawaban yang bisa dibawa pulang dari film ini bukanlah memilih satu sisi. Bukan semata-mata menolak materialisme, melainkan berani jujur. Bahwa cinta, dalam segala kerumitannya, selalu berdiri di antara rasa dan hitung-hitungan. 

Film Materialists rilis di bioskop Indonesia sejak 20 Agustus 2025 dan masih tayang. Sobat Yoursay mau nonton kapan?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?