Pemerintah Indonesia berencana menarik utang baru sebesar Rp781,86 triliun pada tahun 2026. Angka itu dinilai menjadi yang terbesar sejak masa pandemi 2022. Kabar ini disampaikan dalam dokumen resmi Nota Keuangan dan RAPBN 2026.
Sebanyak Rp 749,19 triliun akan didapat lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), sementara sisanya Rp 32,6 triliun lewat pinjaman, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Terdengar wajar, mengingat pemerintah kita memang rutin berutang. Tapi rasa-rasanya, pemerintah nampak terlalu tenang dan optimis menarik utang fantastis, sementara utang yang sebelumnya pun tak kunjung lunas.
Pemerintah optimis menaikkan target penerimaan negara tahun depan di angka Rp3.147,7 triliun. Dari angka itu, penerimaan pajak ditetapkan naik 13,5 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp2.357,7 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan terang-terangan menyebut, “Target penerimaan pajak itu cukup tinggi dan ambisius.”
Kalau kita cermati, ini semacam peringatan bahwa pungutan pajak akan semakin ketat. Dan siapa yang menanggung itu semua? Tentu kita semua, sebagai rakyat. Tak terkecuali para pelaku UMKM yang baru merintis, para pekerja yang gajinya stagnan tapi potongannya makin panjang, hingga industri-industri yang dipaksa bayar lebih besar untuk menambal APBN.
Ironisnya, saat rakyat diminta patuh pajak, para pejabat justru menikmati gaji, tunjangan, dan fasilitas yang sering kali tak sebanding dengan performa mereka.
Data dari Kementerian Keuangan sendiri menunjukkan, beban bunga utang tahun depan diperkirakan tembus Rp 500 triliun lebih. Jadi, kita bukan hanya sedang mencicil utang lama, tapi juga menambah utang baru, demi apa, sebenarnya?
Di sinilah cerita jadi menarik. Pemerintah tentu akan bilang utang ini dipakai untuk pembangunan, infrastruktur, program rakyat, dan banyak lainnya. Memang, utang bisa jadi produktif, tapi juga bisa jadi incaran bagi segelintir orang yang pintar bermain proyek. Jalan tol yang sepi, bandara yang jarang dipakai, gedung-gedung mangkrak, itu semua bukti bahwa utang tidak otomatis berubah jadi manfaat.
Kalau kita tarik ke belakang, tahun 1997-1998 juga pernah mengalami kondisi yang mirip. Pemerintah kala itu menutupi defisit dengan utang luar negeri, sembari menenangkan rakyat bahwa semuanya terkendali. Lalu krisis datang, kurs rupiah jatuh, dan rakyatlah yang menanggung akibatnya. Tentu konteks hari ini berbeda, tapi pola pikirnya sama, bahwa utang tidak apa-apa asal untuk pembangunan.
Ada hal lain yang membuat situasi ini terasa timpang. Saat utang ditarik dalam jumlah jumbo, di sisi lain rakyat justru diminta makin rajin bayar pajak dengan sistem yang semakin ketat dan digital. Tidak buruk, transparansi pajak memang penting. Tapi apakah adil jika rakyat harus mengejar setiap rupiah, sementara negara dengan ringan menambah ratusan triliun utang?
Dan jangan lupakan fakta bahwa sebagian besar penerimaan negara sering bocor. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tiap tahun hampir selalu menemukan ketidakwajaran dalam laporan keuangan kementerian/lembaga, mulai dari pengadaan barang yang tidak sesuai hingga proyek fiktif.
Dalam kondisi seperti ini, wajar kalau rakyat berpikir, apakah utang baru akan sungguh-sungguh kembali dalam bentuk manfaat, atau malah jadi beban generasi berikutnya?
Pemerintah mungkin akan berdalih, “Semua negara juga berutang.” Benar, bahkan Amerika Serikat punya utang fantastis. Tapi kita memiliki perbedaan pada kemampuan bayar dan manajemen fiskal. Utang AS didukung oleh dolar yang jadi mata uang global, sementara utang Jepang banyak dipegang oleh warganya sendiri. Lalu Indonesia? Masih rapuh pada fluktuasi rupiah, harga komoditas, dan kepercayaan pasar.
Namun entah kenapa ketika angka-angka utang diumumkan di ruang sidang, sering kali disambut dengan tepuk tangan. Seolah menambah beban ratusan triliun itu sebuah pencapaian. Padahal, di luar gedung itu, ada jutaan orang yang sedang memikirkan bagaimana caranya bertahan dengan gaji pas-pasan, harga bahan pokok naik, dan lapangan kerja yang tak kunjung membaik.
Dan kenapa solusi negara seakan selalu kembali pada utang? Kenapa bukan membenahi kebocoran penerimaan, memperkuat industri dalam negeri, atau serius memberantas korupsi yang setiap tahun merugikan negara ratusan triliun?
Rakyat mungkin tahu jawabannya, karena berutang jauh lebih mudah ketimbang melakukan reformasi yang menyakitkan dan penuh risiko politik.
Utang Rp781,86 triliun ini adalah janji, beban, sekaligus pertaruhan. Janji bahwa negara akan mengelola uang itu demi kesejahteraan. Beban karena kita semua yang akan membayarnya, entah lewat pajak hari ini atau cicilan bunga di masa depan. Dan pertaruhan, karena bila salah kelola, generasi berikutnya yang akan menanggung utang yang tidak pernah mereka setujui.