Baru-baru ini terdengar kabar bahwa Pemerintah dan DPR RI sepakat mengubah Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) menjadi Kementerian Haji dan Umrah. Alasannya, agar lebih jelas pembagian tugasnya dengan Kementerian Agama. Tapi benarkah masalah haji di Indonesia hanya soal pembagian tugas?
Indonesia memang punya jemaah haji terbesar di dunia. Antrean keberangkatan bisa belasan hingga puluhan tahun. Di beberapa daerah, orang yang mendaftar haji hari ini bisa baru berangkat 30 tahun kemudian.
Sementara itu, biaya perjalanan haji terus naik, bahkan sempat menembus Rp93 juta per orang sebelum disubsidi sebagian oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Dengan kondisi seperti ini, apakah yang kita butuhkan adalah tambahan kementerian, lengkap dengan gedung baru, kursi menteri baru, staf ahli baru, mobil dinas baru, hingga anggaran operasional miliaran rupiah per bulan?
Kritik publik bukan tanpa alasan. Kita tahu setiap kali lahir kementerian baru, yang otomatis ikut lahir adalah anggaran jumbo. Gaji pejabat, tunjangan, perjalanan dinas, fasilitas kantor, sampai urusan seremonial.
Dan apakah beban negara akan semakin ringan atau justru semakin berat? Apakah antrean haji akan lebih singkat hanya karena ada Kementerian Haji dan Umrah? Atau jangan-jangan, antrean tetap 30 tahun, hanya saja sekarang ada tambahan pejabat yang sibuk rapat soal mekanisme kuota?
Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, mengatakan perubahan ini sesuai usulan DPR. Lagi-lagi DPR tampil sebagai aktor penting di balik lahirnya kementerian baru. Alasannya untuk mempertegas struktur kelembagaandan mengurangi tumpang tindih.
Tetapi, kalau kita flashback ke belakang, banyak kementerian yang sudah jelas strukturnya pun tak otomatis bekerja efektif. Kementerian Lingkungan Hidup misalnya, sudah puluhan tahun ada, tapi deforestasi tetap jalan, krisis iklim tetap menghantui. Lalu apa jaminannya Kementerian Haji dan Umrah ini akan otomatis lebih baik daripada BP Haji?
Di tengah wacana pemangkasan anggaran untuk sektor vital seperti penanggulangan bencana atau subsidi energi, negara malah sibuk memperluas birokrasi. Apa benar ini prioritas kita?
Kalau pemerintah bisa begitu cepat menyetujui kementerian baru, kenapa untuk urusan mendesak seperti perbaikan layanan kesehatan, UU perampasan aset, atau pendidikan gratis yang benar-benar gratis, pembahasannya selalu berlarut-larut?
Lebih jauh, publik seharusnya berhak tahu, siapa yang akan duduk di kursi menteri ini? Apakah tokoh dengan pengalaman panjang di bidang penyelenggaraan haji, atau sekadar orang dekat yang perlu posisi?
Jangan lupa, kementerian baru berarti satu kursi kabinet baru. Dan satu kursi kabinet baru berarti ada ruang tawar-menawar politik baru, di dalamnya ada kekuasaan, loyalitas, dan tentu saja, kepentingan jangka panjang partai.
Dulu, ketika urusan haji masih di bawah Kementerian Agama, keluhannya banyak, birokrasi panjang, pelayanan yang lambat, isu dana haji yang selalu jadi perdebatan.
Ketika dibentuk BP Haji, harapannya ada percepatan dan profesionalisme. Nyatanya, persoalan klasik tetap ada, antrean panjang, biaya yang membengkak, dan jemaah yang masih sering mengeluhkan pelayanan.
Kalau dipikir-pikir, alih-alih membentuk kementerian baru, kenapa tidak memperbaiki sistem yang sudah ada? Digitalisasi antrean, transparansi biaya, pengelolaan kuota yang adil, hingga pemberdayaan ekonomi jamaah haji.
Tapi tentu, semua itu tak seindah sebuah pelantikan menteri baru di Istana Negara. Karena sistem yang rapi tak menghasilkan panggung politik, sementara kementerian baru jelas-jelas menciptakan panggung.
Saat ini, publik hanya bisa menunggu dan mengawasi. Apakah Kementerian Haji dan Umrah ini benar-benar hadir untuk mempermudah umat, atau sekadar menambah daftar panjang kementerian yang sibuk dengan urusan internalnya sendiri.
Yang jelas, umat Islam Indonesia tak butuh tambahan kursi menteri, mereka butuh kepastian bisa berangkat haji sebelum ajal menjemput.