Membaca Kehidupan dari Balik Cangkir Kopi Pangku di Jalur Pantura

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Membaca Kehidupan dari Balik Cangkir Kopi Pangku di Jalur Pantura
Foto Film Pangku (Instagram/ gambargerakfilm)

Terkadang ada hal miris ketika kita bicara soal jalan raya. Panjang, nggak berujung, seakan-akan jadi gambaran perjalanan hidup. Nah, di balik hiruk-pikuk truk besar, lampu temaram warung, dan aroma kopi hitam yang mengepul di dini hari, ada kenyataan getir yang dianggap tabu. ‘Kopi Pangku’, dua kata diucapkan dengan setengah berbisik, yang diam-diam jadi bagian dari denyut ekonomi dan sosial di jalur Pantura.

Reza Rahadian, lewat film debutnya ‘Pangku’, seperti menodongkan fakta ke wajah kita. Dia mengajak kita menatap sesuatu yang sering kita pura-pura nggak tahu. 

Kopi Pangku tuh nggak cuma praktik minum kopi sambil ditemani perempuan di warung pinggir jalan. Bisa dibilang, sebagai transaksi tubuh perempuan yang dijadikan komoditas, bagaimana keintiman bisa dipreteli jadi transaksi singkat, dan bagaimana banyak perempuan, seperti Sartika (sang tokoh utama Film Pangku), nggak pernah punya pilihan.

Praktik ‘Kopi Pangku' memang sudah lama ada, yang selalu berada di ruang samar. Masyarakat kita senang menertawakannya, menyeletukinya dalam obrolan ringan di warung, tapi enggan mengakuinya sebagai realita sosial. “Ah, itu kan cuma bagian dari budaya jalanan,” begitu kata sebagian orang di sana. Padahal di balik meja kayu dan gelas kopi murah, ada anak yang menunggu ibunya pulang, ada perempuan yang memendam rasa malu, ada hutang budi yang nggak pernah lunas.

Dan dalam Film Pangku, tersirat soal warisan yang aneh. Hutang budi dan lingkaran yang sulit diputus. Seperti Sartika, yang merasa harus ‘meneruskan’ karena dulu dia dibesarkan seorang perempuan yang hidup dari Warung Kopi Pangku. Kita seakan-akan diingatkan; kemiskinan, keterpaksaan, dan stigma sosial seringnya diturunkan, bukan dipilih. Dan ketika seseorang mencoba keluar dari lingkaran itu, masyarakat kerap lebih cepat menghakimi. 

Di sisi lain, Warung Kopi Pangku juga menyimpan paradoks. Yang mana merupakan ruang pertemuan, antara lelahnya para sopir truk, sunyinya jalan malam, dan kehangatan semu dari sebuah pangkuan. Ada semacam rasa kemanusiaan yang hadir, meski lahir dari bentuk relasi yang timpang. Di situ pula kita sadar, manusia selalu mencari kehangatan, bahkan ketika harus dibeli.

Membicarakan fenomena ini dalam sebuah film jelas bukan perkara mudah. Butuh keberanian, karena menyentuh area tabu: seks, moral, dan cara kita memandang perempuan. Film seperti halnya ‘Pangku’ mungkin bukan solusi, tapi bisa jadi pintu pembuka percakapan yang selama ini tertutup rapat.

Kita bisa memilih untuk nonton film ini dengan kacamata moral. Baik menghakimi, mencibir, atau merasa ‘lebih suci’. Namun, kita juga bisa mencoba melihatnya dengan hati. Bahwa ada Sartika-Sartika lain di luar sana, yang berjuang di jalan panjang bernama Pantura. Para manusia dengan luka, cinta, dan kerinduan akan kehidupan yang lebih layak.

Akhirnya, ‘kopi pangku’ nggak cuma cerita tentang warung remang dan laki-laki yang singgah sebentar. Ini adalah cerita tentang kita, masyarakat yang masih sering pura-pura buta terhadap persoalan struktural yang menjerat perempuan miskin. Dan di titik itu, Film Pangku nggak sebatas drama layar lebar, tapi juga tamparan. Apakah kita hanya akan terus menyesap kopi, sambil membiarkan hidup orang lain larut jadi ampasnya?

Sobat Yoursay yang ingin banget nonton, harus sedikit bersabar lagi. Film Pangku terlebih dahulu akan tayang perdana sekaligus berkompetisi dalam VISION Selection, Busan International Film Festival 2025. Sebelum akhirnya rilis di bioskop Indonesia tahun ini. Yuk, kita nantikan kabar selanjutnya!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?