Sumanto, Dari Kriminal Jadi Main Film

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Sumanto, Dari Kriminal Jadi Main Film
Foto Sumanto (Instagram/ anamifilms_official)

Nama Sumanto bukan sebatas catatan kriminal di koran lawas lho. Dia sudah menjelma jadi bagian dari urban legend Indonesia. Sosok pria asal Purbalingga yang disebut-sebut di obrolan warung kopi, dalam kisah horor kampung, hingga jadi bahan lelucon sarkastik di media sosial.

Singkatnya, Sumanto bisa dibilang sudah melampaui status tergelap manusia, yang nyata dan pernah hidup di tengah masyarakat kita dalam kasus kanibalisme. 

Ketika Film Labinak: Mereka Ada di Sini diumumkan dengan narasi ‘terinspirasi dari Sumanto’, aku pun langsung terpancing. Ada harapan besar film ini berani menampilkan sisi paling ekstrem horor Indonesia. Bukan sebatas penampakan pocong, kuntilanak, melainkan horor yang berakar pada kenyataan paling mencekam.

Dan benar, film ini menghadirkan Sumanto asli. Namun sayangnya, hanya sebagai cameo singkat. Kehadirannya memang membuat penonton bergidik. Ada yang kaget, ada yang tertawa miris, ada pula yang mendadak terdiam karena sadar sedang menatap wajah nyata dari kisah mengerikan yang dulu memenuhi headline nasional.

Namun, setelah momen itu lewat, film kembali ke jalur fiksinya. Ya, Sumanto nggak jadi pilar cerita, lebih-lebih jadi jantung film. Dia hanya sepintas lewat. Sayang banget deh.

Pertanyaan yang mengganggu diriku sejak nonton, “Mengapa tokoh sebesar Sumanto hanya dijadikan cameo?” 

Ada dua kemungkinan. Pertama, tim produksi memang sengaja hanya meminjam ‘auranya’ untuk membumbui cerita, tanpa benar-benar ingin menggali lebih jauh. Kedua, ada ketakutan industri film sendiri. Misalnya, takut menuai kontroversi, takut berhadapan dengan moralitas publik, atau takut jika ‘menggunakan Sumanto’ secara langsung dianggap menormalisasi kisah kelam.

Bayangkan, seandainya ‘Labinak’ benar-benar menjadikan Sumanto tokoh sentral. Yang nggak sebatas lewat sebagai cameo, tapi menjadi poros narasi. Film bisa mengeksplorasi lapisan psikologisnya, menggali bagaimana masyarakat merespons, bahkan menghubungkan antara fakta kriminal dan fiksi supranatural. Hasilnya? Perfilman Indonesia mungkin akan punya ikon horor baru yang levelnya bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh horor global, dari Hannibal Lecter hingga Leatherface.

Ketika nonton sosok Hannibal Lecter, ada pesona ngeri yang memikat. Hanya saja, Hannibal cuma karakter fiksi. Bagaimana dengan Sumanto, yang benar-benar pernah ada, dan bahkan masih hidup sampai sekarang? Potensinya luar biasa.

Memang, cameo Sumanto sukses menimbulkan sensasi. Banyak penonton keluar bioskop sambil membicarakannya, banyak media menyorot kehadirannya. Namun, efek itu hanya sebentar. Dia lebih terasa sebagai gimmick pemasaran ketimbang keputusan artistik yang berani.

Bagiku, Sumanto seharusnya ‘didewakan’ dalam film ini. Maksudnya, diberi ruang besar untuk tampil sebagai ikon horor Indonesia. Dia bisa jadi wajah yang melekat di benak penonton, ikon poster, bahkan kisah baru dalam film horor lokal. 

Menghadirkan Sumanto sebagai cameo memang terasa aman. Menakutkan, tapi nggak sepenuhnya mengganggu kenyamanan penonton. Kehadirannya sekilas saja, cukup membuat bulu kuduk berdiri, tapi terlalu singkat untuk menanamkan rasa ngeri yang bertahan lama.

Padahal, jika tim produksi berani menjadikannya pusat cerita, efeknya bisa jauh lebih mengguncang. Sumanto bisa menjadi poros narasi, ikon horor yang berdiri tegak di tengah layar, bukan sebatas bayangan yang lewat. Film bisa menggali bagaimana masyarakat bereaksi terhadap sosoknya, bahkan menyisipkan kritik sosial yang subtil tapi tajam.

Menjadikan Sumanto jantung cerita bukan sekadar keberanian artistik, tapi juga langkah bersejarah perfilman horor Indonesia. Ini kesempatan untuk mengubah kisah kriminal nyata jadi horor yang berakar pada kenyataan, nggak cuma mitos atau hantu yang lazim dipakai.

Dan bukankah inti horor sejati adalah mengguncang penonton, bikin penonton nggak cuma teriak, tapi juga terdiam memikirkan kengerian yang baru saja mereka saksikan? Untuk itu, Sumanto seharusnya nggak hanya lewat di layar, tapi berdiri di tengahnya, didewakan, diberi ruang dan wibawa, menjadi wajah horor Indonesia yang nggak terlupakan, bukan sekadar cameo yang cepat menghilang.

Sudahkah Sobat Yoursay nonton Film Labinak? Film ini masih tayang di bioskop. Buat yang penasaran aksi Sumanto, cuz ke bioskop sebelum turun layar!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?