Rendahnya Literasi, Cermin Buram Pendidikan Indonesia

Hikmawan Firdaus | Rial Roja Saputra
Rendahnya Literasi, Cermin Buram Pendidikan Indonesia
Illustrasi Anak Sekolah. (Pixabay/IndusSchool)

Setiap kali data mengenai peringkat literasi global dirilis, Indonesia seolah memiliki langganan tetap di papan bawah. Kabar ini selalu disambut dengan ritual keluh kesah kolektif, menunjuk berbagai faktor mulai dari kurangnya minat baca anak hingga gempuran gawai. Namun, setelah bertahun-tahun berganti kurikulum dan menggelar berbagai program, mengapa angka-angka itu seolah enggan beranjak?

Mungkin sudah saatnya kita berhenti melihat rendahnya literasi sebagai sebuah masalah yang berdiri sendiri. Mungkin kita harus mulai melihatnya sebagai apa adanya, sebuah cermin buram yang memantulkan wajah asli dari sistem pendidikan kita yang lebih dalam dan lebih sistemik. Cermin itu tidak berbohong, ia hanya menunjukkan kepada kita retakan-retakan fundamental yang selama ini coba kita tutupi dengan polesan program semu.

Pabrik Jawaban, Bukan Bengkel Pemikiran

Gagasan pertama untuk memahami masalah ini adalah dengan mengevaluasi kembali tujuan akhir dari pendidikan kita. Secara tidak sadar, sistem kita selama ini lebih banyak beroperasi layaknya sebuah pabrik jawaban daripada sebuah bengkel pemikiran. Siswa diperlakukan sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan materi pelajaran sebanyak-banyaknya.

Tujuan akhirnya adalah agar mereka mampu mengeluarkan kembali materi tersebut dalam bentuk jawaban yang benar di lembar ujian. Dalam model pabrik ini, membaca bukanlah sebuah aktivitas eksplorasi atau dialog, melainkan sebuah pekerjaan mekanis untuk menambang informasi spesifik demi menjawab soal. Tidak ada ruang untuk bertanya, merenung, atau bahkan tidak setuju dengan teks yang dibaca. Kita berhasil mencetak siswa yang pandai mencari jawaban, tetapi gagal menumbuhkan generasi yang gemar mengajukan pertanyaan.

Tiran Tuntas Materi yang Membunuh Kedalaman

Di dalam ruang-ruang kelas, para guru sering kali harus berhadapan dengan seorang tiran yang tak terlihat namun sangat berkuasa, yaitu tuntutan untuk menuntaskan materi kurikulum. Beban kurikulum yang begitu padat memaksa para guru untuk berlari maraton dari satu topik ke topik berikutnya, mengorbankan kedalaman demi keluasan.

Dalam perlombaan ini, tidak ada waktu untuk kemewahan seperti berhenti sejenak untuk menikmati keindahan sebuah puisi, menggelar debat panjang tentang sebuah peristiwa sejarah, atau benar-benar mengeksplorasi sebuah konsep hingga ke akarnya. Membaca karya sastra yang tebal menjadi sebuah kemustahilan, digantikan oleh ringkasan-ringkasan pendek di buku LKS. Akibatnya, siswa terbiasa mengonsumsi pengetahuan dalam bentuk potongan-potongan kecil yang dangkal, dan tidak pernah melatih otot konsentrasi yang dibutuhkan untuk bergulat dengan sebuah teks yang panjang dan kompleks.

Perpustakaan sebagai Gudang, Bukan Jantung Sekolah

Peran perpustakaan sekolah dalam ekosistem pendidikan kita juga menjadi cerminan yang menyedihkan. Di banyak tempat, perpustakaan masih diperlakukan layaknya sebuah gudang, sebuah ruang sunyi berisi buku-buku usang yang jarang tersentuh, yang lebih sering berfungsi sebagai tempat untuk menghukum siswa yang berisik. Padahal, seharusnya perpustakaan adalah jantung sekolah.

Ia seharusnya menjadi ruang yang paling hidup, sebuah pusat sumber daya yang dinamis tempat keingintahuan dirayakan. Sebuah perpustakaan ideal adalah ruang yang nyaman untuk membaca, berdiskusi, dan berkolaborasi, dikelola oleh seorang pustakawan yang berperan sebagai kurator pengetahuan, yang aktif merekomendasikan buku dan memantik gairah literasi, bukan sekadar seorang petugas administrasi peminjaman.

Paradoks Guru: Dituntut Kreatif, Dibelenggu Administratif

Pada akhirnya, cermin buram ini juga memantulkan wajah lelah para guru kita. Mereka berada dalam sebuah paradoks yang menjebak. Di berbagai seminar dan pelatihan, mereka terus didorong untuk menjadi pendidik yang kreatif, inovatif, dan berpusat pada siswa. Namun, dalam realitas sehari-hari, mereka justru dibelenggu oleh tumpukan beban administratif yang luar biasa, mulai dari penyusunan RPP yang detail hingga pelaporan yang tak ada habisnya.

Energi dan waktu yang seharusnya bisa dicurahkan untuk merancang metode pengajaran yang menarik dan relevan, habis terkuras untuk memenuhi tuntutan birokrasi. Mustahil untuk mengharapkan seorang guru yang kelelahan karena urusan administrasi bisa hadir di kelas keesokan harinya dengan semangat menyala untuk menginspirasi murid-muridnya agar jatuh cinta pada buku.

Sebagai kesimpulan, rendahnya tingkat literasi bukanlah kegagalan para siswa. Ia adalah kegagalan sistemik yang tecermin dari berbagai aspek pendidikan kita. Memoles cermin dengan kurikulum baru tidak akan banyak membantu jika ruangan yang dipantulkannya masih berantakan. Perbaikan yang sesungguhnya menuntut sebuah keberanian untuk merombak ruangan itu sendiri. Kita perlu mengubah orientasi pendidikan kita dari sekadar menghasilkan jawaban menjadi menumbuhkan pemikiran, memberikan otonomi kepada guru untuk mengajar secara mendalam, mengubah perpustakaan menjadi pusat kreativitas, dan membebaskan para pendidik dari belenggu administrasi. Krisis literasi adalah masalah kita bersama, dan solusinya harus dimulai dari tempat benih itu seharusnya disemai, yaitu di dalam sebuah sistem pendidikan yang sehat dan mencerahkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?