Kalau biasanya cerita kehamilan dituturkan dari perspektif perempuan (istri), kali ini sutradara Peter Cilella memilih sudut yang jarang dipakai, yakni dari kacamata pria (suami). Dan di sinilah aku merasa Film Descendent seperti menawarkan sesuatu yang segar, semacam Rosemary’s Baby versi laki-laki.
Buat yang belum tahu, Rosemary’s Baby itu film horor klasik 1968 tentang istri hamil yang pelan-pelan sadar kalau kandungannya bukanlah anugerah, melainkan kutukan. Nah, kalau di film itu keresahannya ada di sisi perempuan, Film Descendent memindahkan keresahan itu ke sisi pria (suami).
Sang istri, Andrea, memang hamil. Namun Sean, sang suami, dihantui ketakutan atas keyakinannya bahwa dirinya pernah diculik alien. Obsesinya perlahan menggerogoti rumah tangga yang tadinya terasa hangat. Yang menarik, perbedaan perspektif ini bukan sekadar gimmick. Buatku, film ini membuka ruang baru dalam diskusi soal peran gender.
Selama ini, perempuan sering dijadikan pusat rumah tangga dalam narasi film. Tubuh mereka jadi medan tempur, kehamilan jadi sumber ketakutan, dan perempuan seringkali diposisikan sebagai sosok yang rapuh. Namun bagaimana kalau kali ini laki-laki yang rapuh? Bagaimana kalau kehamilan bukan hanya ujian buat perempuan, tapi juga bagi lelaki yang diam-diam juga membawa beban?
Itu yang aku rasakan lewat karakter Sean Bruner. Dari luar, Sean terlihat sebagai pria biasa; bekerja sebagai satpam sekolah, memperbaiki lampu rusak di rumah, dan menanti kelahiran anak pertama. Sayangnya di balik rutinitas sederhana itu, dia menanggung trauma besar yang nggak pernah benar-benar hilang.
Dan di titik ini, aku merasa Sutradara Peter Cilella seolah-olah ingin bilang, “Hei, kehamilan itu bukan hanya soal ibu. Ada juga ayah yang berjuang dengan traumanya sendiri.” Aku setuju. Perspektif ini jarang diangkat, padahal penting. Sebab di balik citra ‘ayah = pelindung keluarga’, realitanya banyak laki-laki juga bisa goyah. Masyarakat sering menuntut laki-laki untuk kuat, jangan cengeng, apalagi menjelang kelahiran anak. Namun, Sean justru hancur. Benturan antara ekspektasi sosial dan kenyataan inilah yang membuat Film Descendent terasa relevan.
Simbol cahaya dari langit yang terlihat seperti hadiah tapi ternyata ‘awal’ bencana, menurutku bisa dibaca sebagai metafora rasa cemas seorang calon ayah. Seharusnya kelahiran anak disambut bahagia, tapi dalam pikiran Sean, malah terasa seperti invasi.
Mungkin inilah benang merah antara Rosemary’s Baby dengan Film Descendent. Keduanya sama-sama bicara tentang kehilangan kendali, tentang tubuh atau pikiran yang direbut sama sesuatu yang lebih besar. Bedanya, kali ini penonton diajak merasakan keresahan suami, seorang calon ayah, yang ketakutannya ternyata nggak kalah kompleks dibandingkan istrinya.
Dan aku rasa, ini jadi peringatan yang menarik. Kalau dulu Rosemary’s Baby membuat kita mendengar jeritan perempuan yang jarang dipercaya, maka Film Descendent mengingatkan bahwa lelaki pun bisa sama nggak didengarnya. Keduanya sama-sama bicara tentang suara yang terpinggirkan, entah karena dianggap ‘histris’ atau karena dianggap ‘Lemah’. Padahal, dalam sunyi itulah ketakutan bisa tumbuh jadi monster.
Pada akhirnya, mungkin Film Descendent adalah gambaran yang memaksa kita menatap sisi gelap dari kata ‘keluarga’. Selama ini kita terlalu sibuk memuja mitos tentang orang tua yang harus selalu kuat, selalu siap, dan atau selalu sempurna. Padahal, baik ibu maupun ayah sama-sama punya retakan, sama-sama punya ketakutan yang nggak selalu bisa dibagi.
Sobat Yoursay, selalu ingat ya untuk saling dukung dan menyayangi pasangan. Kita harus saling memahami dan tentunya menguatkan.