Review Film The Voice of Hind Rajab: Pedih dan Mengguncang Nurani

Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Review Film The Voice of Hind Rajab: Pedih dan Mengguncang Nurani
Thumbnail Film The Voice of Hind Rajab (KlikFilm)

Dari sekian banyaknya film, ada lho yang sengaja menuntun kita ke ruang gelap untuk melihat suatu kejadian; ada pula film yang memaksa kita buat didengar, baru kemudian kita melek.

Nah, Film The Voice of Hind Rajab adalah yang kedua! Ini adalah film yang nggak sebatas menayangkan tragedi, tapi juga merawat jejak suara yang nyaris hilang, sampai suara itu menuntut pengakuan dari seluruh dunia.

Dikisahkan pada 29 Januari 2024, relawan Palestinian Red Crescent menerima panggilan darurat. Panggilan itu berasal suara anak perempuan, terjebak dalam sebuah mobil yang jadi sasaran tembakan.

Selama panggilan itu, terdengar suara napas, isak, bisik, bahkan upaya menenangkannya. Dan panggilan itu terekam sebagai momen-momen terakhir yang sunyi dan menegangkan. 

Film besutan Kaouther Ben Hania ini mengambil momen itu sebagai inti narasinya. Bukan untuk mengeksploitasi penderitaan, tapi menjadikan rekaman itu sebagai dokumen kemanusiaan yang nggak bisa diabaikan. 

Ben Hania, sutradara Tunisia yang jujur saja punya pendekatan humanis dan elegan pada isu-isu berat, merangkai film ini seperti sebuah liturgi pendengaran.

Kamera dan suara ditempatkan bukan untuk memberi jarak, tapi untuk menenggelamkan penonton ke dalam ruang panggilan, lalu membiarkan gempuran diamnya mengisi setiap celah. 

Hasilnya? Momen-momen panjang yang hening terasa seperti teriakan yang dipaksa berbisik, dan setiap jeda menambah bobot moral pada apa yang kita lihat dan dengar. 

Dan jujur saja, respons publik (maupun sinefil) terhadap film ini menggambarkan betapa kuatnya film ini. Saat world premiere di Venice, film ini menerima standing ovation yang sangat panjang. Reaksi emosional yang menyusul perdebatan dan protes terkait latar konflik yang diangkat.

Selain pujian kritis, film ini juga diganjar penghargaan besar di festival tersebut, menegaskan posisinya bukan sekadar film festival tapi juga sebagai pernyataan moral yang mengguncang. 

Dan atas keberaniannya menegaskan bahwa bukti suara dapat jadi saksi paling nggak terbantahkan dalam konflik itu layak diapresiasi. 

Di sini, Ben Hania nggak memberi kita kisah klise heroik atau dramatisasi berlebih. Dia memberi kita kenyataan yang ringkas, dan dengan cara itu, memaksa penonton menimbang ulang peran media, hukum internasional, dan empati terhadap mereka yang paling rentan. 

Di Indonesia, film ini didistribusikan KlikFilm dan mulai diputar secara reguler di jaringan bioskop 26 November 2025.

Rilis lokal kali ini jelas membuka kesempatan dialog yang lebih luas. Tentang bagaimana kita menanggapi laporan kemanusiaan, bagaimana suara anak-anak dibingkai ulang sama narasi politik, dan apa tanggung jawab penonton ketika menghadapi bukti yang begitu personal. 

Menonton film ini terasa seperti menerima surat yang ditulis dengan ‘bahasa napas’. Terasa pendek, rawan, tapi sejujurnya penuh arti.

Setelah kredit bergulir, efeknya bukan lagi semata-mata sedih, tapi juga meninggalkan pertanyaan-pertanyaan etis yang tajam. Siapa yang mau mendengar ketika panggilan ke darurat menjadi satu-satunya ruang penyelamat? 

Maka benar, ‘The Voice of Hind Rajab’ adalah film yang menuntut lebih dari perhatian kita. Jelas lho, film ini menuntut tanggung jawab moral.

Teruntuk Sobat Yoursay di mana pun kamu berada, bisa suka nonton film dan penasaran dengan Film The Voice of Hind Rajab, tontonlah sebelum turun layar.

Mengapa begitu? Karena film ini nggak bisa semua orang menyukai, dan faktor inilah yang akan memengaruhi performa penayangan harian di bioskop. Jadi, tontonlah secepatnya bersama kawan atau orang terkasih. Selamat nonton ya. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak