Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, dalam konferensi pers di Jakarta, menekankan betapa pentingnya memastikan bahwa setiap individu yang ditangkap dan ditahan memiliki akses terhadap pendampingan hukum.
Baginya, hal ini bukan hanya persoalan prosedural, melainkan hak asasi manusia yang paling mendasar. Dalam hukum internasional maupun nasional, akses terhadap penasihat hukum adalah hak fundamental yang tidak boleh diabaikan, bahkan dalam situasi penuh ketegangan sekalipun.
Pernyataan ini muncul setelah berbagai laporan mengungkapkan adanya sejumlah demonstran yang tidak mendapatkan perlakuan hukum yang layak. Beberapa ditahan tanpa pendampingan pengacara, sementara yang lain mengalami intimidasi dan kekerasan.
Fakta ini memperkuat alasan mengapa Komnas HAM mendorong aparat penegak hukum untuk mengedepankan prinsip keadilan restoratif dalam menangani kasus demonstran.
Bahkan pihak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga telah merilis data sementara tentang korban demonstrasi di berbagai daerah sejak 25 hingga 31 Agustus 2025 kemarin. Bahkan dalam statistiknya juga menyebutkan kalau 10 orang meninggal dunia, 429 dirawat dan sekitar 1.683 demonstran ditahan oleh Kepolisian Metropolitan Jakarta.
Komnas HAM Tuntut Keadilan Restoratif
Keadilan restoratif merupakan pendekatan hukum yang lebih menekankan pada dialog, mediasi, dan pemulihan daripada sekadar penghukuman. Dalam kerangka ini, pelaku, korban, keluarga, serta pihak terkait duduk bersama untuk mencari penyelesaian yang adil. Fokusnya bukan pada balas dendam atau penjara semata, melainkan bagaimana memperbaiki kerusakan hubungan sosial yang muncul akibat suatu peristiwa.
Dalam konteks demonstrasi, pendekatan ini menjadi sangat relevan. Banyak dari mereka yang turun ke jalan bukanlah kriminal, melainkan warga negara yang menyalurkan aspirasi.
Dengan menggunakan keadilan restoratif, negara dapat menunjukkan sikap bijak dengan cara mengakui hak warga untuk bersuara, sekaligus menjaga ketertiban tanpa harus mengorbankan kemanusiaan.
Jika diterapkan, pendekatan ini tidak hanya akan mengurangi ketegangan antara aparat dan rakyat, tetapi juga membuka ruang dialog yang lebih sehat. Pemerintah dapat mendengar langsung keresahan publik, sementara masyarakat merasa dihargai sebagai bagian dari bangsa, bukan sekadar angka dalam laporan kepolisian.
Sorotan Dunia dan Simpati Publik Terhadap Kericuhan Indonesia
Gelombang kericuhan di Indonesia juga menarik perhatian dunia internasional. Laporan media asing dan organisasi hak asasi manusia menggambarkan situasi ini sebagai potret rapuhnya demokrasi. Sorotan global memperlihatkan bahwa dunia kini ikut mengawasi bagaimana Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, menghadapi kritik rakyatnya.
Tak hanya itu, simpati publik dari berbagai kalangan di dalam negeri pun mengalir deras. Beragam inisiatif solidaritas bermunculan mulai dari penggalangan dana, aksi doa bersama, hingga dukungan di media sosial. Simbol-simbol visual seperti Brave Pink Hero Green menjadi bagian penting dari gelombang solidaritas ini, menandai bahwa keresahan rakyat telah menjelma bahasa visual yang menyatukan banyak kalangan.
Tantangan Negara dalam Menjaga Demokrasi
Kericuhan yang terjadi seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah. Data korban jiwa, ratusan luka-luka, hingga ribuan penahanan menunjukkan bahwa ada ketegangan serius antara aparat negara dan rakyatnya.
Alih-alih mengedepankan represi, inilah momentum untuk menegaskan kembali komitmen pada demokrasi yang sehat dengan menjamin kebebasan berpendapat, menghargai perbedaan, serta membuka ruang partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan.
Gelombang demonstrasi akhir Agustus hingga awal September 2025 menorehkan luka kolektif bagi bangsa. Sepuluh nyawa melayang, ratusan luka, dan ribuan penahanan menjadi catatan sejarah yang tidak bisa dihapus begitu saja. Namun, dari tragedi itu pula muncul pelajaran berharga di mana menunjukkan bahwa rakyat Indonesia masih memiliki suara yang kuat, dan suara itu tidak boleh diabaikan.
Dengan dorongan dari Komnas HAM, dunia internasional, serta solidaritas publik, inilah saatnya pemerintah dan aparat keamanan menata ulang pendekatan mereka. Keadilan restoratif dapat menjadi jalan tengah untuk meredakan konflik sekaligus memperbaiki relasi negara dan rakyat.
Pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang pemilu lima tahunan, tetapi juga tentang bagaimana negara memperlakukan warganya setiap hari. Dan di titik ini, kericuhan yang terjadi bukan hanya soal benturan di jalanan, melainkan cermin apakah Indonesia masih berjalan di rel demokrasi yang sesungguhnya.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS