Pentingnya Sensitivitas Pejabat Publik di Tengah Kecemburuan Sosial

Sekar Anindyah Lamase | Yayang Nanda Budiman
Pentingnya Sensitivitas Pejabat Publik di Tengah Kecemburuan Sosial
Demo Nepal (X/nepalsrhinoarmy)

Di tengah kondisi masyarakat yang serba sulit, pejabat publik memikul tanggung jawab moral yang lebih besar daripada sekadar menjalankan kewenangan administratif. Mereka bukan hanya pengelola negara, tetapi juga simbol harapan. Itulah mengapa setiap ucapan, gerak tubuh, bahkan unggahan media sosial mereka kerap menjadi sorotan. Dalam situasi ekonomi yang rapuh, ketika sebagian besar rakyat harus mengencangkan ikat pinggang, tindakan memamerkan kekayaan justru bisa menimbulkan luka sosial yang lebih dalam: kecemburuan sosial.

Fenomena flexing, atau pamer harta, bukan lagi hal baru. Media sosial telah menjadikannya bagian dari kultur digital: rumah megah, mobil mewah, jam tangan mahal, hingga gaya liburan berkelas. Bagi figur publik biasa, itu mungkin hanya bagian dari gaya hidup pribadi. Namun bagi pejabat publik, hal tersebut berubah menjadi persoalan etika. Bukan hanya karena sumber kekayaan mereka akan dipertanyakan, melainkan juga karena tindakannya dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat.

Mari bayangkan seorang pejabat daerah yang mengunggah foto di media sosial dengan latar belakang mobil sport teranyar. Di saat yang sama, rakyat di daerah yang dipimpinnya sedang berjuang membeli beras yang harganya melambung. Ketimpangan semacam itu tidak hanya melahirkan rasa iri, tetapi juga kecurigaan: apakah harta tersebut diperoleh dari jerih payah yang sah, atau justru dari praktik korupsi yang menggerogoti anggaran publik? Di titik itulah, flexing tidak lagi sekadar gaya, melainkan bom waktu sosial.

Kecemburuan sosial adalah gejala yang tidak bisa dianggap remeh. Dalam sejarah bangsa, ketidakadilan distribusi kekayaan sering kali menjadi pemicu kerusuhan. Rakyat kecil bisa menerima kesulitan, tetapi mereka sulit menerima kesenjangan yang dipertontonkan secara vulgar. Sensitivitas pejabat publik seharusnya hadir di sini. Bukan sekadar menjaga citra, tetapi sebagai wujud empati: menahan diri untuk tidak memperparah luka sosial melalui pamer kekayaan yang tak perlu.

Sebagian mungkin berargumen, “Itu hak pribadi.” Benar, setiap orang berhak menggunakan dan menikmati hasil jerih payahnya. Namun jabatan publik membawa konsekuensi berbeda. Privasi berkurang, hak individu sering kali dibatasi oleh kepentingan kolektif. Seorang pejabat yang tetap ingin hidup seperti selebritas flexing seharusnya sadar bahwa dirinya telah memilih jalan hidup di mana kepantasan lebih utama daripada kebebasan penuh. Dengan kata lain, jabatan publik menuntut pengorbanan gaya hidup yang terlalu berlebihan.

Masalah ini tidak semata soal etika komunikasi publik, melainkan juga soal kepercayaan. Negara ini masih menghadapi problem serius terkait korupsi. Setiap kali ada pejabat yang tampil dengan gaya hidup serba mewah, memori publik langsung tertuju pada daftar panjang skandal penyalahgunaan kekuasaan. Walaupun belum tentu ia bersalah, publik akan mudah mengaitkannya dengan praktik kotor yang menodai demokrasi. Hasilnya: kepercayaan pada institusi negara kembali terkikis.

Sensitivitas pejabat publik dalam mengelola citra dan gaya hidup sejatinya adalah investasi politik. Kesederhanaan bukan berarti miskin, melainkan simbol solidaritas. Lihatlah bagaimana tokoh-tokoh yang dikenang sebagai pemimpin besar biasanya dikenal dengan gaya hidup sederhana, dekat dengan rakyat, dan tidak berjarak. Kesederhanaan itulah yang justru memperkuat legitimasi, bukan melemahkan.

Kondisi masyarakat hari ini menuntut pejabat untuk tampil lebih empatik. Harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja terbatas, dan ketidakpastian ekonomi semakin terasa. Dalam situasi seperti ini, publik tidak butuh tontonan jam tangan seharga rumah. Mereka butuh kepastian bahwa pejabat publik bekerja untuk meringankan beban mereka. Maka, menjauhi flexing bukan sekadar soal menjaga etika, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap penderitaan rakyat.

Pejabat publik bisa belajar dari prinsip komunikasi krisis: diam lebih baik daripada bicara yang salah, rendah hati lebih baik daripada gagah yang menyinggung. Dalam era digital, setiap unggahan bisa menjadi rekam jejak permanen. Satu foto mobil mewah bisa bertahan di ingatan publik lebih lama daripada seribu program kerja. Di situlah pentingnya kesadaran: apa yang dianggap biasa dalam lingkaran elite, bisa menjadi bara api di mata masyarakat luas.

Pada akhirnya, pejabat publik yang peka terhadap kecemburuan sosial tidak hanya sedang menjaga citranya sendiri, tetapi juga sedang melindungi stabilitas sosial. Menghindari flexing berarti memilih jalan empati, sebuah sikap yang justru memperkuat kewibawaan. Sebab dalam ruang demokrasi, legitimasi lahir bukan dari harta yang dipamerkan, melainkan dari rasa percaya yang ditumbuhkan.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak