Pada tahun 2025, film Agak Laen memiliki sekuelnya tersendiri, Agak Laen: Menyala Pantiku! Dengan genre komedi yang sama namun kali ini lebih lucu, Agak Laen: Menyala Pantiku! mengisahkan empat polisi dengan kinerja amburadul: Boris, Oki, Jegel, dan Bene. Setelah gagal menangkap penjahat karena salah instruksi dan terancam dipecat, mereka ditugaskan oleh komandan untuk mencari pelaku pembunuhan anak seorang wali kota.
Pelaku tersebut diduga bersembunyi di Panti Asuhan Wisma Kasih yang diurus oleh seorang wanita Batak, Linda Rajagukguk. Keempat polisi ini kemudian berusaha menyelesaikan misi mereka dengan menyamar.
Film ini memiliki beragam jenis lelucon. Dari melawak mengenai dinding tembok berwarna "hijau tai kuda", hingga lelucon gelap saat petugas panti tanpa sengaja menyuruh kakek-kakek berkursi roda untuk "angkat kaki" dalam kegiatan olahraga.
Tanpa bermaksud membocorkan isi filmnya, semua lelucon dan ceritanya lengkap, kecuali satu hal: bagaimana dengan sang wali kota yang anaknya dibunuh?
Kasus yang Menggantung dan Cermin Realitas
Penonton akan segera menyadari adanya "tindakan tak senonoh" yang dilakukan oleh si anak wali kota sebelum akhirnya terbunuh. Pahitnya, pelaku pembunuhan tersebut tidak kunjung ditangkap.
Tidak selesainya konflik akibat perilaku si anak pejabat ini bisa berarti dua hal: kesempatan untuk membuat sekuel, atau cerminan kenyataan umum di Indonesia bahwa masalah yang berhubungan dengan pejabat kadang tak kunjung selesai.
Dalam filmnya, si anak wali kota menikmati minuman keras di sebuah bar, lalu mulai menyentuh salah satu pelayan wanita. Begitu si pelayan disentuh paksa, ia meninggal karena terjatuh dari tangga.
Ketakutan, si anak wali kota mencoba meyakinkan orang tua si pelayan bahwa apa yang terjadi hanyalah kecelakaan kerja. Ia bahkan menyuruh seorang pembunuh bayaran untuk menyogok dan membunuh sang orang tua. Namun, si pembunuh bayaran tanpa sengaja terbunuh oleh orang tua tersebut, yang akhirnya dituduh sebagai pembunuh anak wali kota.
Penonton tidak menemukan penyelesaian dari kasus ini. Sementara wali kotanya terus menuntut penyelesaian, seorang lansia dituduh sebagai pembunuh berdasarkan bukti rekaman yang didapat pihak kepolisian.
Paralel dengan Kasus Nyata yang Tak Kunjung Usai
Hampir sama dengan bagaimana kasus seperti Munir dan berbagai kasus HAM lainnya tak kunjung selesai di negeri ini, Agak Laen: Menyala Pantiku! bukan hanya menyalakan lelucon, tetapi juga menyoroti bagaimana pemerintah terkadang tidak menyelesaikan kasusnya.
Lihat saja kasus Munir. Hingga sekarang, belum ada pertanggungjawaban dari pihak pemerintah. Dikutip dari Tempo, Ketua Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM), Usman Hamid, menyatakan bahwa penyelesaian kasus ini seharusnya dianggap penting bagi perlindungan HAM. Jika dibiarkan berlarut-larut, bisa saja aktivis HAM dianggap ‘bisa diperlakukan semena-mena dan pelaku pelanggaran HAM tetap bebas’.
Sudah 21 tahun sejak kematian Munir pada 7 September 2004, kasus ini belum kunjung usai. Usman Hamid meyakini bahwa negara mampu membongkar kasusnya, namun penyelesaiannya selalu tersendat oleh kepentingan politik.
Ketidakpercayaan Publik terhadap Pemerintah
Film ini juga bisa dipakai untuk membahas aspek lain dari para pejabat dalam negeri: ketidakpercayaan sebagian warga negara saat melihat pemerintah.
Ada sebuah adegan menarik di mana Boris dan Oki mengajak dua lansia bermain kartu sambil menonton berita tentang investigasi pembunuhan anak wali kota. Reaksi kedua lansia itu mengejutkan: mereka merasa anak wali kota tersebut pantas mati karena perilakunya, alih-alih bersimpati.
Reaksi mereka mungkin akan mengingatkan penonton dengan bagaimana reaksi warga mengenai kacaunya penanganan bencana banjir dan longsor di Aceh dan Sumatra oleh pemerintah.
Bayangkan, para tokoh publik dan masyarakat berusaha menolong korban semampu mereka, sementara pemerintah membuat beragam tanggapan yang justru membuat rakyat makin antipati.
Dikutip dari Kompas, tokoh publik seperti Ferry Irwandi membawa bantuan senilai Rp10,3 miliar. Tak lama kemudian, seperti yang dikutip dari BBC Indonesia, bukan hanya pemerintah menolak bantuan negara luar, Menteri Sosial Saifullah Yusuf juga menyatakan bahwa penggalangan dana harus mendapat izin.
Bahkan, dikutip dari Republika, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan bahwa bantuan Rp1 miliar dari Malaysia "tidak seberapa" dan berpotensi membuat pemerintah ‘terlihat tidak melakukan penanganan’.
Gegara pernyataan seperti ini, ditambah lambatnya gerak pemerintah, warga melontarkan berbagai komentar pedas. Seorang mahasiswa bernama Ardina Rasti Dewi menyatakan bahwa gerakan pemerintah lambat. Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti, bahkan menyebut pernyataan Tito Karnavian memalukan dan sombong.
Walau tanggapan dari film dan contoh dunia nyata berbeda, mereka menyuarakan satu hal yang sama: terkadang, pemerintah kita bermasalah, dan masalahnya bisa jadi tak kunjung usai.