Ada kabar baru dari Istana, Presiden Prabowo Subianto berencana menyalurkan smart TV ke 330.000 sekolah di seluruh Indonesia. Nantinya, para siswa bisa menikmati tayangan interaktif, belajar dengan cara yang lebih menarik, dan guru juga punya media bantu modern.
Tapi di saat anggaran negara sedang ketat, harga kebutuhan pokok naik-turun tak terkendali, dan guru honorer masih menerima gaji ratusan ribu rupiah per bulan, apakah benar smart TV adalah kebutuhan paling mendesak untuk pendidikan kita?
Tidak ada yang salah memang dengan ide membawa teknologi ke ruang kelas. Namun, masalah pendidikan Indonesia bukan terletak pada kurangnya layar, melainkan pada ketimpangan paling dasar, yaitu guru yang kekurangan gaji, sekolah yang atapnya bocor, hingga listrik dan internet yang tidak merata.
Data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan masih ada ribuan guru honorer yang digaji di bawah Rp1 juta per bulan. Sementara itu, rencana distribusi smart TV berpotensi menyedot anggaran triliunan rupiah. Apakah ini bukan ironi?
Kalau dihitung, satu unit smart TV dihargai Rp26 juta. Untuk 330.000 sekolah, nilainya bisa menembus Rp8 triliun lebih. Angka yang fantastis, apalagi ketika pemerintah sedang menyerukan efisiensi.
Apakah Rp5 triliun itu tidak lebih bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan guru? Misalnya, memberi tambahan insentif bagi guru honorer agar mereka tidak meninggalkan profesinya. Atau memperkuat infrastruktur dasar sekolah, dari toilet hingga laboratorium.
Kita sering lupa bahwa teknologi hanyalah alat. Tanpa guru terlatih, internet stabil, dan konten edukasi yang layak, maka smart TV hanya akan jadi layar mahal yang menayangkan slide presentasi seadanya.
Setiap kali ada kebijakan pendidikan, guru selalu jadi pihak yang disebut tapi jarang jadi prioritas. Padahal, merekalah ujung tombak perubahan.
Coba lihat realita, banyak guru honorer yang terpaksa mencari kerja sampingan demi menyambung hidup. Ada yang jadi ojek online, ada yang berdagang kecil-kecilan. Bagaimana mungkin mereka bisa mengajar dengan sepenuh hati kalau gaji saja tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari?
Kebijakan publik selalu tentang prioritas. Dan prioritas sejatinya lahir dari kebutuhan paling mendesak. Jika benar tujuan smart TV adalah modernisasi pembelajaran, bukankah kita punya cara yang lebih hemat dan tepat sasaran?
Contohnya, memperkuat platform digital berbasis internet yang bisa diakses dari perangkat sederhana seperti ponsel, yang faktanya sudah lebih umum dimiliki siswa dan guru. Atau memperbanyak pelatihan guru agar mereka mampu membuat materi kreatif tanpa tergantung pada alat mahal.
Sulit menampik dugaan bahwa program ini lebih bernuansa simbolis daripada solutif. Smart TV mudah difoto, gampang ditampilkan sebagai bukti kemajuan, dan enak dijadikan bahan kampanye pencitraan. Tapi di balik itu, masalah-masalah mendasar pendidikan tetap saja tak tersentuh.
Publik tidak menolak inovasi. Tapi publik juga berhak berpendapat, apakah benar ini solusi cerdas, atau sekadar gimmick politik yang lebih memikirkan kesan dibanding substansi?
Anak-anak Indonesia butuh guru yang sejahtera, kurikulum yang relevan, akses internet yang merata, dan sekolah yang aman serta layak. Semua itu jauh lebih penting daripada sebuah layar besar di ruang kelas.
Pendidikan adalah tentang mendampingi, membimbing, dan menumbuhkan rasa ingin tahu. Dan itu semua tidak bisa digantikan oleh teknologi, seberapa pun pintarnya alat yang diberikan.
Karena yang kita butuhkan saat ini bukan sekadar tontonan baru, tapi perubahan nyata bagi mereka yang setiap hari berdiri di depan kelas dengan gaji yang nyaris tak cukup.