Sutartinah: Sosok Tak Terlihat di Balik Bapak Pendidikan Indonesia

Hikmawan Firdaus | Mira Fitdyati
Sutartinah: Sosok Tak Terlihat di Balik Bapak Pendidikan Indonesia
Karya Syam Terrajana berjudul Last Woman Standing (Dokumentasi Pribadi/Mira Fitdyati)

Sutartinah merupakan sosok perempuan yang jarang dikenal masyarakat luas. Namanya kerap tersembunyi di balik Ki Hadjar Dewantara. Ia menjadi salah satu pendiri Taman Siswa, lembaga pendidikan yang sering dituliskan sebagai Nyi Hadjar Dewantara.

Taman Siswa, yang lahir pada 3 Juli 1922, bukan sekadar ‘sekolah pribumi’. Ia hadir sebagai penggerak kebudayaan dan kebangsaan, menjadi bentuk perlawanan terhadap dominasi pendidikan kolonial.

Meski tak banyak diketahui publik, Sutartinah selalu berdiri di belakang Ki Hadjar, memberi semangat dan dorongan. Dyan Anggraini, Bidang Kebudayaan BP Wanita Tamansiswa menyampaikan dalam unggahan video di Instagram @moyangdotco pada Rabu (3/9/2025).

Sutartinah adalah Nyi Hadjar Dewantara, sebenarnya memang tidak banyak orang tahu sosok tersebut. Namun, beliau menjadi sosok yang menginspirasi. Ketika kita mengenalnya lebih jauh, ia adalah seorang ibu yang lemah lembut, tetapi menyimpan energi besar yang memengaruhi perjalanan perjuangan Ki Hadjar Dewantara,” ujarnya.

Mengenal Latar Belakang Sutartinah

Karya Andi Firda Arifa berjudul Jejak Rindu Sutartinah (Dokumentasi Pribadi/Mira Fitdyati)
Karya Andi Firda Arifa berjudul Jejak Rindu Sutartinah (Dokumentasi Pribadi/Mira Fitdyati)

Melansir dari akun Instagram @moyangdotco pada Selasa (26/9/2025), Raden Ajeng Sutartinah lahir pada 14 September 1890. Ia merupakan putri dari Kanjeng Pangeran Haryo Sasraningrat dan Raden Ajeng Mudmainah, serta cucu Sri Paku Alam III.

Ia lahir pada masa kemunduran bangsawan Jawa setelah Perang Diponegoro, ketika Belanda memperlemah kerajaan-kerajaan melalui intrik politik. Sejak kecil, Sutartinah dibiasakan hidup disiplin dan sederhana. 

Ia diberi tanggung jawab mencatat keuangan keluarga dalam Bahasa Jawa Krama Inggil. Hal ini melatihnya menjadi sosok yang teliti, penuh tanggung jawab, sekaligus menjunjung tinggi tata krama.

Di balik kelembutannya, Sutartinah juga dikenal berani melawan ketidakadilan. Pernah suatu ketika ia dihina oleh Karel, seorang sinyo Belanda, yang menyebutnya cucu Paku Alam yang bodoh. 

Mengingat keberanian Eyang Retnaningsih, istri Pangeran Diponegoro, yang pernah menampar seorang kontrolir Belanda, Sutartinah pun melakukan hal serupa dengan menampar pipi Karel. Sikap tegas ini menunjukkan darah perjuangan yang mengalir dalam dirinya.

Peran dalam Perjuangan Ki Hadjar Dewantara

Karya Bulan Fi Sabilillah berjudul Lentera (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)
Karya Bulan Fi Sabilillah berjudul Lentera (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)

Sutartinah dan Ki Hadjar Dewantara telah dijodohkan sejak kecil. Namun, pernikahan mereka bukan sekadar ‘politik keluarga’. Keduanya saling menjalin kasih dan berpadu dalam perjuangan. 

Sejak muda, Sutartinah membersamai perjuangan Ki Hadjar. Saat suaminya menempuh pendidikan, ia aktif berkorespondensi, memberi saran, bahkan ikut mempelajari politik agar dapat bertukar pikiran dengannya.

Dalam sebuah karya Paksi Raras Alit yang ditampilkan pada Pameran Sutartinah di Rumah DAS, diceritakan satu kisah penting tentang perannya. 

Suatu hari, Ki Hadjar mendapat panggilan dari Belanda untuk berunding. Ia sempat meminta pertimbangan Sutartinah, yang kemudian mengingatkan agar suaminya ‘eling lan waspada’, merujuk pada kasus penjebakan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock pada 28 Maret 1830 di Magelang.

Berdasarkan intuisi yang gelisah, Sutartinah menyarankan Ki Hadjar untuk tidak hadir. Sang suami pun mengikuti nasihat itu, sehingga dugaan upaya Belanda menjebaknya gagal.

Sejarah lebih sering menyoroti peran Ki Hadjar, sementara Sutartinah ditempatkan sebagai ‘kanca wingking’ atau ‘teman di belakang’. Namun, pengaruhnya besar, seperti sutradara teater yang tak tampak di panggung, tetapi menentukan jalannya pertunjukan.

Hingga akhir hayat, Sutartinah tetap aktif mengelola Taman Siswa dan Wanita Tamansiswa. Ia juga sempat menjabat sebagai Pemimpin Umat Persatuan Tamansiswa. Atas jasanya, pemerintah menganugerahkan Satyalencana Kebudayaan pada tahun 1968.

Kolektif Arungkala dalam karyanya di Pameran Sutartinah menuliskan sebuah tulisan yang sangat indah. “Kita jarang merayakan mereka yang bekerja dari tepian dan pinggiran. Padahal, sejarah juga bergerak karena tangan-tangan yang bekerja diam-diam, merangkai hal-hal yang dianggap kecil dalam gerakan perlawanan,” tulisnya.

Sutartinah mungkin tidak banyak dikenal, tetapi warisan perjuangannya begitu besar. Ia adalah representasi gerakan perempuan yang kerap ditutupi, diabaikan, bahkan dilupakan oleh sejarah.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak