Isu air galon yang menyeret nama Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana mungkin terdengar sepele di awal. Katanya, sang menteri meminta disiapkan air galon untuk mandi saat melakukan kunjungan kerja di daerah.
Entah benar, entah hanya gosip, tetapi cerita tersebut terlanjur viral, dan publik terlanjur bereaksi. Dari komentar pedas netizen sampai sindiran artis Prilly Latuconsina, semuanya mengarah pada satu hal: sensitivitas pejabat publik kini sedang diuji oleh simbol sekecil air galon.
Fenomena ini menarik karena menunjukkan bagaimana detail kecil bisa mencuat besar ketika menyangkut pejabat publik. Mandi dengan air galon bukanlah kriminal. Tidak ada aturan hukum yang dilanggar. Tetapi, di mata masyarakat, itu menjadi simbol jarak.
Ketika rakyat di pelosok harus berjuang dengan keterbatasan air bersih, pejabat justru terlihat begitu "manja" dengan standar kenyamanan yang tidak realistis. Publik merasa ada ironi: bagaimana seorang pejabat pariwisata bisa bicara soal pemberdayaan daerah kalau merasakan kehidupan lokal saja tidak mau.
Dalam politik, simbol sering lebih kuat daripada fakta. Mungkin permintaan air galon itu hanya hal kecil, bahkan mungkin salah paham. Tetapi, simbol itulah yang ditangkap oleh masyarakat. Air galon akhirnya bukan hanya air, melainkan cermin bagaimana pejabat kita berjarak dari realita rakyat.
Di sinilah muncul Prilly Latuconsina dengan komentarnya yang halus tetapi tajam. Ia bilang, pariwisata bukan hanya soal data di atas kertas, melainkan juga soal rasa. Rasa yang hanya bisa dipahami kalau pejabat betul-betul turun merasakan kondisi lapangan. Sindiran Prilly sederhana tetapi menusuk. Kalimat itu seakan berkata: kalau hanya ingin nyaman, mungkin Anda salah memilih profesi.
Kehadiran Prilly dalam perdebatan ini menambah lapisan menarik. Ia bukan politisi, bukan akademisi, melainkan aktris muda yang punya suara kuat di ruang publik. Netizen mendengarnya, media mengutipnya, dan efeknya memperluas sorotan. Bagi pejabat, sindiran seperti ini jelas bukan kabar baik. Tetapi bagi masyarakat, suara semacam ini penting sebagai pengingat bahwa kepemimpinan publik bukan tentang fasilitas, melainkan tentang empati.
Kita bisa bertanya, apakah wajar publik bereaksi sedemikian keras hanya karena urusan air galon? Jawabannya: wajar. Karena reaksi itu bukan semata untuk airnya, melainkan untuk apa yang ia wakili. Rakyat ingin melihat pejabat publik sederhana, mau beradaptasi, tidak segan merasakan yang dirasakan orang biasa. Harapan ini lahir dari pengalaman panjang bahwa terlalu sering pejabat hanya datang, melihat sebentar, berfoto, lalu pulang tanpa benar-benar memahami persoalan masyarakat.
Isu air galon menjadi semacam pemantik emosi kolektif. Ia membuat orang mengingat kembali cerita-cerita lama tentang pejabat yang datang ke desa dengan rombongan besar, hanya untuk memberi pidato lalu pulang. Ia juga mengingatkan tentang fasilitas mewah yang kadang disiapkan khusus untuk pejabat, sementara warga sekitar tetap berkutat dengan masalah air, listrik, atau jalan.
Dalam konteks pariwisata, hal ini lebih ironis lagi. Karena pariwisata sejatinya menjual pengalaman. Bagaimana mungkin seorang menteri pariwisata bisa meyakinkan wisatawan untuk merasakan keaslian daerah kalau ia sendiri enggan beradaptasi dengan kondisi nyata? Di titik inilah publik merasa wajar untuk skeptis.
Sindiran Prilly sebenarnya mengandung pesan konstruktif: pejabat harus lebih rendah hati. Rendah hati untuk mendengar, rendah hati untuk merasakan, rendah hati untuk memahami. Pariwisata bukan hanya tentang laporan angka kunjungan turis, bukan hanya tentang pendapatan devisa, tetapi tentang wajah bangsa yang ditampilkan kepada dunia. Kalau wajah itu hanya menampilkan standar kenyamanan semu, apa yang tersisa dari keaslian dan keramahan lokal yang selalu kita banggakan?
Kasus ini juga memberi pelajaran penting tentang era digital. Tidak ada lagi ruang bagi pejabat untuk sembunyi di balik protokol. Sekecil apa pun perilaku bisa direkam, disebarkan, dan dipersepsikan. Isu air galon membuktikan bahwa publik kini semakin kritis terhadap gaya hidup pejabat. Masyarakat tidak lagi hanya menuntut kebijakan yang baik, tetapi juga keteladanan yang bisa dirasakan.
Apakah wajar seorang pejabat ingin kenyamanan pribadi? Tentu saja wajar. Tetapi ketika seseorang memilih menjadi pejabat publik, ia juga memilih untuk mengurangi sebagian kenyamanan itu demi tugas yang lebih besar. Kalau setiap kunjungan harus dilayani dengan standar yang jauh dari realitas lokal, maka pejabat hanya akan hidup di gelembung. Dan gelembung itu berbahaya, karena membuat mereka kehilangan rasa.
Air galon ini, pada akhirnya, bukan tentang kebiasaan mandi atau selera pribadi. Ia adalah simbol, sekaligus cermin. Ia menunjukkan sejauh mana pejabat kita siap hidup dengan realita rakyat. Ia memperlihatkan bahwa kepekaan publik bisa muncul dari hal kecil, dan sindiran bisa datang dari mana saja, bahkan dari seorang aktris yang mungkin tidak pernah duduk di kursi birokrasi.
Mungkin sang menteri merasa disalahpahami. Mungkin cerita ini berlebihan. Tetapi di mata publik, persepsi lebih kuat daripada klarifikasi. Dan dalam politik, persepsi adalah segalanya.
Pada akhirnya, isu ini bukan untuk mempermalukan seorang pejabat, melainkan untuk mengingatkan kita semua: kepemimpinan publik adalah tentang kesediaan hadir bersama rakyat, bukan sekadar datang membawa standar kenyamanan pribadi. Kalau tidak sanggup, sindiran Prilly akan terus menggema: pariwisata bukan soal data, tapi soal rasa. Dan rasa itu tidak bisa dibeli dengan air galon.