25 November Punya Dua Penanda, Guru dan Keberanian Perempuan

Hayuning Ratri Hapsari | Thedora Telaubun
25 November Punya Dua Penanda, Guru dan Keberanian Perempuan
Ilustrasi seorang perempuan dan seorang guru (Freepik)

Tanggal 25 November selalu menghadirkan dua penanda yang berjalan bersama, yakni penghormatan kepada para guru dan pengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius. 

Keduanya sama-sama menyentuh inti dari bagaimana masyarakat membangun masa depan melalui pendidikan, dan melalui keberanian untuk melawan ketidakadilan.

Guru, dalam berbagai definisi, tetap menjadi penjaga pertama yang menemani proses manusia tumbuh dalam pendidikan.

Peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November merujuk pada berdirinya PGRI pada 1945 dan mulai diperingati secara resmi sejak 1994. 

Di balik seremoni sederhana setiap tahun, ada realitas yang perlu diingat bahwa guru tidak hanya bekerja menyampaikan pelajaran, tetapi menjadi figur penting dalam membentuk karakter, rasa aman, dan cara generasi muda memandang dirinya sendiri.

Tidak semuanya dimanjakan fasilitas, tidak semuanya dihargai secara layak, tetapi guru tetap berdiri di antara papan tulis dan anak-anak yang percaya bahwa dunia bisa dipelajari. 

Di banyak sekolah, terutama di wilayah yang aksesnya terbatas, guru masih harus mengisi peran tambahan, seperti menjadi  pendengar pertama, penghubung keluarga, bahkan penjaga ruang aman bagi murid yang bergulat dengan tekanan sosial. 

Hari Guru selalu mengingatkan bahwa fondasi pendidikan tidak pernah hilang.

Pada titik ini, peran guru (perempuan atau laki-laki) bertemu dengan isu yang diperingati di tanggal yang sama, yakni Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. 

Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2024 mencatat kenaikan signifikan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, mencapai 330.097 kasus atau naik 14,17% dari tahun sebelumnya. 

Data ini yang telah menjadi rujukan penting selama dua dekade, menunjukkan bahwa dominasi kasus terjadi di ranah personal. 

Peningkatan angka kekerasan ini menegaskan urgensi penanganan serius terhadap isu kekerasan berbasis gender di tanah air.

Perempuan masih berhadapan dengan risiko yang tidak seharusnya menjadi bagian dari hidup.

Penting untuk diingat bahwa perempuan bukan objek kekerasan, dan tidak boleh dianggap terbiasa kuat sehingga lukanya diabaikan. 

Keberanian perempuan bukan berarti mereka harus terus-menerus menahan beban, tetapi keberanian itu justru tampak ketika perempuan diberi ruang aman untuk bersuara dan didukung oleh lingkungan sekitar, termasuk oleh para pendidik.

Aturan seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) No. 12/2022 memang telah memberikan payung hukum yang lebih jelas bagi korban.

Namun, implementasi di lapangan tetap memerlukan edukasi publik dan dukungan institusi, terutama institusi pendidikan.

Oleh sebab itu, dedikasi guru dan keberanian perempuan berjalan bersama karena masa depan yang cerah dibangun lewat pendidikan dan rasa aman yang tercipta setara untuk semua orang. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak