Pagi-pagi, sejak pukul 07.00 WIB, Sabtu (20/12), pesisir Pantai Baros sudah lebih dulu sibuk sebelum pantainya ramai.
Lewat kegiatan Mangrove Sketch and Write yang digelar Suara Hijau, Suara.com, sekitar 25 peserta ikut terlibat dalam acara ini.
Semua peserta ikut menyiapkan dan menanam mangrove, kemudian sebagian menulis artikel dan yang lainnya membuat sketsa bebas.
Kegiatannya santai, tapi pesannya jelas yakni untuk menjaga pesisir bisa dimulai dari langkah sederhana.
Penanaman mangrove sering dianggap sebagai agenda lingkungan yang berulang dan cenderung seremonial. Datang, tanam, lalu selesai.
Namun berada langsung di lokasi memberi perspektif yang berbeda.
Kondisi pesisir yang berlumpur, garis pantai yang tidak sepenuhnya stabil, masih ada sampah, dan area yang rentan terhadap abrasi membuat aksi menanam mangrove terasa lebih kontekstual, bukan sekadar simbol kepedulian.
Secara fungsi, mangrove memang memegang peran penting bagi wilayah pesisir.
Ekosistem ini dikenal mampu menahan sedimen, meredam gelombang, dan mengurangi dampak abrasi.
Mangrove juga menjadi ruang hidup bagi berbagai biota laut yang berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir.
Oleh karena itu, keberadaan mangrove tidak hanya berkaitan dengan isu lingkungan, tetapi juga dengan keberlanjutan ruang hidup manusia di sekitarnya.
Indonesia sendiri memiliki kawasan mangrove yang luas, namun di banyak daerah jumlahnya terus berkurang akibat alih fungsi lahan dan tekanan pembangunan pesisir.
Dalam kondisi seperti ini, kegiatan penanaman mangrove meskipun dilakukan dalam skala kecil, tetap memiliki arti penting.
Setidaknya, aksi semacam ini menjadi upaya memperlambat kerusakan sekaligus mengingatkan bahwa pesisir bukan ruang yang bisa dieksploitasi tanpa batas.
Yang menarik dari kegiatan Mangrove Sketch and Write adalah cara pesannya disampaikan.
Penanaman mangrove dipadukan dengan aktivitas menulis dan membuat sketsa, sehingga isu lingkungan tidak hanya dikerjakan secara fisik, tetapi juga direfleksikan.
Pendekatan ini membuat persoalan pesisir terasa lebih dekat, tidak melulu dibicarakan lewat data, tetapi lewat pengalaman langsung di lapangan.
Menanam mangrove memang tidak bisa langsung menyelesaikan persoalan abrasi atau krisis iklim. Namun menganggapnya sebagai aksi remeh juga tidak sepenuhnya benar.
Dari langkah kecil seperti ini, kesadaran bisa tumbuh bahwa menjaga pesisir membutuhkan keterlibatan, konsistensi, dan kemauan untuk hadir langsung, bukan sekadar wacana.
Oleh karena itu, penanaman mangrove layak dipandang sebagai lebih dari sekadar kegiatan rutin.
Perubahan besar sering kali berangkat dari tindakan sederhana yang dilakukan bersama, di tempat yang benar-benar membutuhkan perhatian.
