Ironi Baru Sinema: Bioskop Kian Sepi di Tengah Ramainya Platform Streaming

Sekar Anindyah Lamase | Ancilla Vinta Nugraha
Ironi Baru Sinema: Bioskop Kian Sepi di Tengah Ramainya Platform Streaming
Ilustrasi Bioskop yang Sepi (Unsplash/Felix Mooneeram)

Layar perak masih memancarkan cahaya, namun penontonnya tak lagi masif. Fenomena ini berjalan beriringan dengan melonjaknya konsumsi film di platform streaming

Di tengah maraknya rilis baru, bioskop justru tak lagi menjadi tujuan utama para penikmat film. Banyak penonton memilih menekan tombol putar di rumah ketimbang meluangkan waktu ke gedung bioskop. 

Seiring berjalannya waktu, platform streaming semakin menawarkan fleksibilitas yang sulit disaingi, mulai dari harga langganan hingga katalog yang terus diperbarui. Sementara itu, bioskop menghadapi tantangan untuk kembali relevan di tengah perubahan budaya menonton. 

Beberapa waktu lalu, Menekraf Teuku Riefky Harsya menyebut industri bioskop sedang berada di fase pasang surut, meski film Indonesia sendiri justru tengah naik daun. Ia memaparkan bahwa ada sekitar 15 bioskop yang terancam tutup karena penonton mulai beralih ke layanan streaming resmi.  

Pernyataan itu menegaskan betapa rapuhnya ekosistem layar lebar di tengah gempuran budaya menonton yang serba praktis. Keputusan orang untuk tetap di rumah kini bukan lagi soal malas keluar, melainkan soal efisiensi yang terasa lebih masuk akal. 

Di satu sisi, kita merayakan kebangkitan film Indonesia yang makin percaya diri menembus pasar global. Namun di sisi lain, ruang yang seharusnya menjadi rumah bagi karya-karya itu justru perlahan kehilangan napasnya. 

Ironinya, keberhasilan industri film tidak otomatis menjamin keberlangsungan bioskop sebagai medium pemutarannya. Penonton yang dulu memenuhi teater kini memilih kenyamanan personal, dan itu membuat layar lebar berjuang mempertahankan relevansinya. 

Jika tren ini terus berlanjut, bioskop terancam hanya menjadi ingatan kolektif tentang masa ketika menonton adalah pengalaman sosial. Dan barangkali, kita baru akan merindukannya ketika ruang itu benar-benar hilang dari kota-kota kita.

Bioskop pada akhirnya bukan sekadar tempat memutar film, tetapi ruang yang mempertemukan pengalaman dan emosi bersama. Ketika fungsi itu terkikis, maka yang hilang bukan hanya penonton, melainkan juga budaya yang menyertainya. 

Di era streaming, film mungkin lebih mudah diakses, tetapi kemudahan itu perlahan menggeser nilai dari proses menonton itu sendiri. Kita tidak lagi menunggu jadwal tayang, membeli tiket, atau berbagi reaksi dengan penonton lainnya. 

Perubahan ini tentu tak sepenuhnya buruk, namun tetap menyisakan kekosongan yang tak bisa digantikan algoritma. Ada sensasi yang memudar ketika setiap film hanya menjadi pilihan cepat di layar beranda. 

Lebih jauh, tantangan terbesar bukan lagi sekadar mempertahankan penonton, melainkan mengembalikan makna menonton sebagai pengalaman kolektif. Tanpa itu, layar perak mungkin terus menyala, tetapi rohnya tak lagi sama. 

Pada akhirnya, masa depan bioskop akan sangat ditentukan oleh sejauh apa kita masih menganggap pengalaman bersama itu penting. Jika tidak, layar lebar hanya akan menjadi simbol romantis dari masa ketika menonton adalah sebuah perayaan, bukan sekadar kebiasaan yang digantikan kenyamanan di rumah.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak