Hari Guru Nasional 2025: Hukuman Fisik di Sekolah Disorot, Publik Sentil Pendidikan Etika

Hayuning Ratri Hapsari | e. kusuma .n
Hari Guru Nasional 2025: Hukuman Fisik di Sekolah Disorot, Publik Sentil Pendidikan Etika
Ilustrasi memberi hukuman pada siswa di sekolah (inovasee.com)

Belakangan ini, sorotan media semakin tajam pada pendidikan di Indonesia. Apalagi media sosial tengah ramai membahas kasus guru yang memberi hukuman fisik pada siswa di tengah euforia perayaan Hari Guru Nasional (HGN) yang jatuh tiap tanggal 25 November.

Ada yang menilai tindakan guru memberi hukuman fisik sebagai bentuk kedisiplinan, tapi banyak pula yang mengecamnya sebagai pelanggaran hak anak meski ada pelanggaran aturan sekolah yang dilakukan. 

Polemik ini kembali membuka diskusi besar tentang makna pendidikan sebenarnya. Apakah pendidikan di sekolah pada era modern ini sekadar transfer ilmu? Bagaimana dengan transfer nilai dan etika?

Dalam konteks pendidikan modern, guru bukan hanya pengajar, tapi juga pendidik dan pembentuk karakter. Namun, di tengah perubahan zaman dan sensitivitas sosial yang meningkat, peran ini menjadi semakin kompleks.

Ilmu Tanpa Etika: Fondasi yang Rapuh

Pendidikan sering diartikan sebagai proses menyampaikan pengetahuan dari guru kepada murid. Namun, transfer ilmu tanpa transfer etika ibarat membangun gedung tanpa fondasi.

Ilmu memang bisa menjadikan seseorang cerdas. Hanya saja, kecerdasan tanpa etika akan berisiko disalahgunakan. Tujuan sejati pendidikan bukan hanya mencetak siswa dengan nilai tinggi, tapi membentuk manusia berkarakter.

Karakter yang jujur, berempati, disiplin, dan bertanggung jawab sering kali digaungkan dalam sistem pendidikan Indonesia sebagai karakter pelajar berjiwa Pancasila. Namun, dalam praktiknya, fokus pendidikan di Indonesia masih cenderung berat ke arah kognitif.

Keberhasilan siswa sering dinilai hanya dari hasil ujian, bukan dari sikapnya. Padahal, etika sosial dan moral justru menjadi kunci saat siswa tumbuh dan menjadi bagian dari masyarakat.

Hukuman Fisik dan Krisis Nilai dalam Pendidikan

Kasus guru memberi hukuman fisik kerap menimbulkan perdebatan. Sebagian beranggapan bahwa tindakan itu bagian dari pendisiplinan tradisional di era “VOC”. Di sisi lain, dunia pendidikan kini bergerak ke arah pendekatan humanis yang menolak kekerasan dalam bentuk apa pun.

Hukuman fisik dianggap bisa meninggalkan trauma psikologis dan memperburuk hubungan antara guru dan siswa. Rasa takut mungkin membuat siswa patuh sementara, tapi tidak menumbuhkan kesadaran moral jangka panjang.

Yang dibutuhkan bukan sekadar hukuman, melainkan pendidikan nilai yang membantu siswa memahami mengapa sebuah perilaku salah, bukan hanya menakut-nakuti agar tidak mengulanginya.

Pendidikan seharusnya melatih empati, bukan menumbuhkan rasa takut. Guru perlu menjadi figur yang dihormati karena kebijaksanaan, bukan ditakuti karena kekerasan. Guru juga seharusnya menjadi teladan etika, bukan sekadar penyampai materi.

Guru Sebagai Teladan Etika

Guru adalah cermin moral yang ditunjukkan melalui cara berbicara, bersikap, hingga menyelesaikan masalah agar menjadi contoh nyata bagi siswa dalam memahami etika sosial.

Ketika guru mampu bersikap tegas tanpa kasar serta mendidik tanpa merendahkan, siswa belajar bahwa disiplin dan kasih sayang bisa berjalan berdampingan.

Transfer etika ini tidak terjadi lewat ceramah, tapi lewat keteladanan sehari-hari. Seorang guru yang jujur, sabar, dan adil akan jauh lebih berpengaruh daripada seribu nasihat moral.

Salah satu tantangan terbesar pendidikan modern adalah menjaga keseimbangan antara otoritas dan empati. Guru tetap perlu menegakkan aturan, tapi dengan cara yang lebih mendidik, bukan dengan kekerasan fisik.

Peran Sekolah dan Orang Tua dalam Membangun Ekosistem Etika

Penting untuk diingat bahwa pendidikan etika tidak bisa dibebankan hanya pada guru. Sekolah dan keluarga harus berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif.

Sekolah perlu memiliki kode etik disiplin yang jelas dan manusiawi tanpa harus menerapkan hukuman fisik demi mengajarkan tanggung jawab. 

Di sisi lain, orang tua di rumah juga harus menyelaraskan konsep disiplin serupa agar tidak ada “adu domba” prinsip terkait pola mendidik anak. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak