Ketika air laut merambat pelan ke daratan, sebagian orang melihatnya sebagai bencana. Namun di pesisir, terutama di wilayah seperti Sendang Biru, Malang Selatan, cerita yang muncul justru jauh lebih kompleks.
Ada kesedihan dan kehilangan di sana, tetapi ada pula tawa, rezeki, dan denyut kehidupan yang tak pernah mati. Inilah ironi yang hanya bisa lahir dari keteguhan masyarakat pesisir. Tempat di mana air laut bukan hanya ancaman, tetapi juga bagian dari identitas.
Anak-Anak: Menyambut Rob Seperti Menyambut Musim Bermain
Bagi anak-anak pesisir, banjir rob bukanlah sesuatu yang menakutkan. Genangan air asin yang menyusup ke jalan rumah mereka berubah menjadi kolam renang alami. Tawa mereka memecah sunyi, memantul di antara dinding rumah panggung, dan memotong rasa khawatir yang biasanya dirasakan orang dewasa.
Tak ada pelampung mewah, tak ada peralatan renang. Hanya tubuh kecil yang lentur, kaki-kaki yang berlari, dan air laut yang naik mengikuti pasang. Mereka belajar berenang bahkan sebelum pandai membaca; bermain kejar-kejaran dengan ombak seperti insting bawaan. Sebuah potret masa kecil yang indah. Tetapi sekaligus ironi, karena di balik keriangan itu tersimpan realitas bahwa mereka tumbuh di wilayah rentan.
Para Pemancing: Rob sebagai Pembawa Rezeki
Bagi pemancing, banjir rob bisa berarti kesempatan. Ketika air laut naik, ikan-ikan bergerak lebih dekat ke daratan. Mereka menepi mengikuti arus, membawa rezeki ke pintu rumah para nelayan dan pemancing lokal.
Tak jarang, tangkapan mereka justru lebih melimpah saat rob datang. Perahu tak selalu perlu didorong jauh; jaring dilempar lebih dekat, pancing diturunkan tidak sejauh biasanya. Rezeki dari laut yang kadang terasa kejam, tapi pada momen tertentu hadir begitu murah hati.
Inilah realitas lapis kedua: ketika bencana dan berkah berjalan beriringan, dipisahkan hanya oleh selisih pasang air laut.
Denyut Ekonomi Tumbuh di Atas Genangan
Rob juga membawa keramaian yang tak terduga. Saat banyak orang keluar rumah untuk memantau kondisi, aktivitas ekonomi kecil muncul dengan sendirinya. Penjual jajanan menggelar gerobak di tepi genangan, pedagang ikan membuka timbangan dadakan, dan warga yang melihat peluang sesaat memanfaatkan momentum.
Genangan air yang seharusnya membawa kecemasan justru menjadi magnet sosial. Pesisir yang tergenang mendadak hidup. Penuh interaksi, obrolan, dan transaksi. Ekonomi mikro bergerak, meskipun pijakannya rapuh, sering kali hanya semen yang retak atau tanah yang terendam.
Potret Ironi: Tawa yang Menyimpan Masa Depan
Di tengah tumpukan sampah yang terbawa arus, di antara genangan rob yang kian tinggi setiap tahun, anak-anak Jongor tetap tumbuh dengan tawa lepas. Mereka mengenal jenis ikan lebih dulu sebelum hafal nama-nama pahlawan nasional. Mereka menghafal arah angin dan warna awan sebelum memahami peta Indonesia.
Mereka adalah potret ketangguhan. Namun, mereka juga alarm paling jujur tentang masa depan pesisir kita.
Rob tidak lagi sekadar siklus alam. Perubahan iklim, penurunan muka tanah, dan penurunan ekosistem pesisir membuat intensitasnya meningkat. Jika tidak ada penanganan strategis. Mulai dari perlindungan mangrove, perbaikan tata ruang, hingga mitigasi perubahan iklim. Maka anak-anak yang hari ini bermain di atas rob bisa jadi adalah generasi yang kehilangan rumah di masa depan.
Di Balik Gelak Tawa Anak Pesisir, Ada Masa Depan yang Perlahan Terendam
Ironi kehidupan pesisir adalah kisah tentang manusia yang bertahan, beradaptasi, dan tetap tertawa meski air laut menguji batas hidup mereka. Banjir rob mungkin membawa tawa di masa kecil, rezeki bagi pemancing, dan keramaian bagi pedagang.
Namun di balik itu semua, ini adalah pengingat keras. Kita harus menjaga pesisir, melindungi ekosistemnya, dan memastikan masa depan anak-anak pesisir tidak tenggelam oleh ketidakpedulian kita sendiri.