Perundungan atau bullying kerap dianggap hanya berbentuk tindakan kekerasan fisik dan verbal saja. Hal ini membuat orang awam sering kali merasa asing dengan istilah perundungan seksual. Padahal jenis perundungan ini masih ramai dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Perundungan seksual sendiri dapat diartikan sebagai tindakan berulang, merugikan, dan memalukan yang menargetkan seseorang secara seksual.
Dari segala bentuk tindakan yang berpotensi menjadi perundungan seksual, beberapa aksi berikut bisa menjadi indikator untuk mengetahui perilaku bullying jenis ini.
Di antaranya adalah hinaan seksual, komentar kasar, gestur vulgar, sentuhan fisik tanpa persetujuan, ajakan seksual, dan materi pornografi.
Acap kali kita jumpai orang-orang yang melontarkan humor dan candaan yang didasarkan pada objektivitas tubuh atau menjurus ke ranah seksual. Fenomena ini dapat disebut sebagai humor seksis atau sexist jokes karena membuat prasangka dan diskriminasi yang didasarkan pada gender atau jenis kelamin.
Aksi ini tidak hanya mengganggu kenyamanan atau bentuk pelecehan asusila saja, tetapi berpotensi menjadi tindak perundungan seksual pada gender tertentu.
Walaupun humor seksis bisa terjadi pada laki-laki, perempuan menjadi golongan yang rentan mendapat perlakuan tidak menyenangkan ini.
Biasanya humor seksis dilontarkan dalam bentuk lelucon verbal atau komentar di dunia maya. Sangat disayangkan juga kalau humor seksis seolah sudah mendarahdaging di masyarakat dan dianggap lumrah sehingga tidak banyak yang menyadari potensi perundungan akibat guyonan ini.
Mengapa Humor Seksis bisa Menjadi Perundungan?
Humor seksis biasanya dilontarkan dalam bentuk lelucon verbal. Perundungan verbal biasanya dilakukan dengan melontarkan kata-kata, pernyataan, atau makian untuk mendapat kekuasaan dan kendali atas targetnya.
Biasanya pelaku perundungan verbal akan menggunakan hinaan untuk meremehkan, merendahkan, dan menyakiti orang lain berdasarkan penampilan dan perilaku target.
Perempuan sebagai golongan rentan yang menjadi korban seksisme selalu dikaitkan dengan stereotipe dan objektivitas berdasarkan kacamata patriarki.
Sistem patriarki ini juga membuat hierarki laki-laki seolah lebih superior dari perempuan sehingga perempuan kerap kali mendapat perlakuan tidak menyenangkan dan direndahkan dengan berbagai cara, salah satunya adalah melalui humor seksis. Mirisnya lagi, perilaku ini terjadi tidak hanya di dunia nyata, tetapi terus merambah ke dunia maya.
Relasi humor seksis dengan perundungan ini bisa dilihat dari keterkaitan antara motif pelaku pada korbannya. Pelaku perundungan seksual melakukan aksi berupa ucapan atau perbuatan untuk menguasai dan memanipulasi orang lain sekaligus membuat korbannya terlibat dalam aktivitas seksual tanpa consent.
Hal tersebut membuat ucapan yang dimaksud untuk guyon atau lelucon justru membuat korban merasa tidak nyaman dan direndahkan.
Perundungan seksual yang bersifat verbal cenderung menyisakan konsekuensi serius karena dapat meninggalkan luka emosional yang mendalam.
Para korban akan merasa tidak aman saat berada di berbagai tempat karena bayang-bayang ketakutan akan mendapat pelecehan seksual. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrem, perundungan seksual membuka peluang terjadinya kekerasan asusila yang lebih serius.
Normalisasi Humor Seksis
Meskipun tindakan ini jelas merugikan, sayangnya perilaku seksisme masih dianggap hal yang normal di masyarakat. Komentar tentang tubuh perempuan, stereotipe gender, hingga rayuan mengganggu seperti catcalling masih menjamur di berbagai tempat. Bahkan sekolah, kampus, kantor, dan lingkup pertemanan yang seharusnya menjadi ruang aman pun tidak luput dari perilaku ini.
Hal tersebut dapat terjadi karena normalisasi yang menganggap tindakan ini sebagai lelucon menghibur. Seringnya mereka melontarkan ujaran tidak pantas pada perempuan, seperti "satu jam berapa?", "betina", "sini sama om", atau ucapan dan tindakan lain yang merendahkan martabat perempuan.
Amat disayangkan, bagi pelaku perkataan tersebut dianggap sebagai guyonan yang lucu dan akan mereka lakukan secara berulang-ulang karena dirasa masih batas wajar serta dianggap bukan tindakan fisik yang merugikan.
Di samping itu, pendidikan seksual yang rendah membuat isu perundungan seksual masih awam. Perilaku seksisme yang terjadi dalam lingkup kehidupan sosial di masyarakat bisa berakar dari kurangnya pemahaman dan ketidakpedulian pelaku terhadap isu pelecehan seksual verbal.
Ditambah para pelaku kerap tidak peka terhadap posisi perempuan yang dirugikan akibat jokes ini. Mereka menilai, perempuan yang merespons dengan diam berarti tidak keberatan dengan lelucon senonoj yang dilontarkan.
Padahal diam bisa menjadi respons keterkejutan perempuan setelah mendapatkan perlakuan yang merendahkan mereka. Pada akhirnya, rendahnya edukasi seksual membuat perundungan seksual semakin langgeng karena pelecehan seksual dalam bentuk verbal masih dianggap lumrah.
Perilaku humor seksis yang acap kali berlangsung di lingkup masyarakat luas jelas menjadi tanggung jawab bersama. Setiap orang memiliki kewajiban untuk menjamin ruang aman bagi setiap golongan masyarakat, tanpa memandang kelompok dan gender tertentu. Apalagi manusia sebagai manusia sosial hendaknya memiliki kepekaan terhadap isu-isu yang bisa merugikan orang lain, salah satunya adalah perilaku seksisme.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS