Stop! Bilang 'Cuma Bercanda', Lelucon Bisa Menjadi Trauma

Hayuning Ratri Hapsari | Angelia Cipta RN
Stop! Bilang 'Cuma Bercanda', Lelucon Bisa Menjadi Trauma
Ilustrasi perilaku bullying (Pexels/Cottonbro Studio)

Bullying tidak pernah muncul dari ruang kosong. Ia tumbuh dari budaya yang membiarkan kekerasan kecil dianggap wajar. Dari kata-kata yang kita anggap “cuma bercanda”, dari tawa yang menghalalkan penghinaan, hingga dari komentar yang terus diulang sampai orang percaya bahwa menyakiti hati orang lain adalah bagian biasa dari kehidupan sosial.

Kita sering menuding pelaku sebagai satu-satunya pihak yang salah, padahal lingkungan sosial, pola asuh, tekanan kelompok, hingga budaya populer ikut menjadi penyokong utama.

Bullying bukan sekadar perilaku individu, ini merupakan gejala sosial yang berulang karena kita membiarkan ruang untuknya terus terbuka.

Lingkungan yang Ikut Menertawakan, Bukan Menghentikan

Beberapa pekan terakhir, berbagai kasus perundungan di sekolah dan dunia digital mengemuka dan menjadi perbincangan luas.

Dari kasus siswa yang dipermalukan secara fisik di halaman sekolah, hingga kasus perundungan verbal di lingkungan pendidikan yang seharusnya aman. Bahkan tidak jarang, korban memilih diam karena takut dianggap “tidak bisa bercanda” atau “terlalu sensitif”.

Padahal, banyak perilaku bullying justru dimulai dari komentar kecil yang kita normalisasi. Ucapan seperti “Ah, dia begitu cuma bercanda kok.”, “orang kok baperan sih” atau “Namanya juga anak-anak, wajar.” menjadi tameng sosial yang membuat pelaku merasa aman dan membuat korban terdorong untuk menahan rasa sakitnya.

Ketika kejadian perundungan viral, masyarakat terkejut dan marah. Namun sebelum kamera merekam, sering kali sudah ada puluhan momen kecil yang diabaikan seperti tawa teman-teman, guru yang menutup mata, bahkan keluarga yang menganggap remeh. Budaya inilah yang menjadi akar permasalahan di mana kita hanya peduli ketika luka sudah besar.

Budaya Kompetisi Berlebihan dan Tekanan Identitas

Tidak bisa dipungkiri bahwa generasi sekarang tumbuh dalam kultur kompetitif yang intens. Dari sekolah hingga dunia digital, anak-anak dan remaja didorong untuk menjadi “yang paling” dalam segala hal, misalnya menjadi yang paling pintar, paling cantik, paling berani, hingga paling populer.

Tekanan ini menciptakan arena sosial yang keras. Mereka yang sedikit berbeda baik dari segi penampilan, gaya bicara, latar belakang keluarga, hingga minat seringkali menjadi sasaran empuk.

Di beberapa sekolah, bullying bahkan dianggap sebagai cara “mengatur hierarki” sosial tentang siapa yang dominan dan siapa yang lemah. Bagi mereka yang lemah dan tak berani melawan akan ditindas oleh kaum-kaum kuat yang menurutnya orang yang tak terkalahkan di segala hal.

Di sinilah budaya kerap berperan. Ada kalimat-kalimat lama yang masih tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat seperti:
“Laki-laki harus kuat, tak boleh cengeng”
“Kalau diejek jangan baper.”
“Anak pintar pasti aneh.”

Padahal, kalimat-kalimat itu menunjukkan betapa lemahnya empati kita. Mereka menormalkan kekerasan emosional dan menumbuhkan generasi yang terbiasa melihat merendahkan orang lain sebagai cara untuk merasa lebih unggul.

Media Sosial Jadi Ruang Berkeluh Kesah Tanpa Filter Emosi

Media sosial memperparah situasi. Di ruang digital, komentar tajam sering diangap permainan. Identitas samar membuat orang merasa bebas berkata apa saja tanpa memikirkan dampaknya. Kasus cyberbullying meningkat karena internet memberikan “panggung” bagi siapa pun untuk mengejek tanpa rasa takut.

Beberapa tahun terakhir, kasus perundungan digital mulai muncul ke permukaan. Ada siswa yang videonya disebar hanya karena dianggap berbeda. Ada yang dipermalukan bersama-sama melalui grup chat. Ada pula kasus viral di mana korban bahkan tidak berani lagi keluar rumah.

Yang lebih ironis, video perundungan sering ditonton ribuan orang bukan untuk membantu, tetapi untuk hiburan. Di sinilah budaya kita memegang peran penting, ketika kekerasan dijadikan tontonan, empati berkurang, dan pelaku merasa didukung.

Sering kali kita menyalahkan anak-anak, padahal mereka belajar dari dunia orang dewasa. Ketika orang tua menghina sesama, ketika tokoh publik bertikai dengan kata-kata kasar, ketika acara televisi menjadikan ejekan fisik sebagai komedi, anak-anak akan menirunya. Mereka melihat bahwa merendahkan orang lain adalah hal wajar.

Sekolah sering disebut sebagai tempat paling rawan bullying, tetapi lingkungan rumah dan masyarakat sering menjadi sumber nilainya. Jika generasi dewasa memiliki kebiasaan mempermalukan, maka tidak heran anak-anak tumbuh dengan pola yang sama.

Stop! Menganggap Bullying Hal Biasa

Bullying akan terus tumbuh selama budaya “diam” masih ada. Selama ejekan dianggap hiburan. Selama korban diminta lebih kuat, bukan pelaku yang diminta berhenti. Selama kita lebih cepat menghakimi korban daripada mengubah perilaku pelaku.

Perubahan tidak bisa hanya datang dari regulasi sekolah atau himbauan pemerintah. Ia harus dimulai dari perubahan sikap dari cara kita berbicara, dari apa yang kita tertawakan, dari keberanian kita untuk menghentikan ejekan ketika terjadi di depan mata.

Budaya yang membiarkan bullying harus dikritik dan dihentikan. Kita harus menciptakan ruang di mana perbedaan dihargai, empati diajarkan, dan keberanian dipuji bukan kekerasan.

Karena pada akhirnya, kekuatan bukan berasal dari siapa yang paling keras, tetapi dari siapa yang paling mampu menjaga orang lain tetap merasa aman.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak