Jejak Harapan dari Ujung Negeri

Lintang Siltya Utami | erik nurhidayat
Jejak Harapan dari Ujung Negeri
Ilustrasi Perjuangan Seorang Nelayan di Musim Utara. (Sumber: Pixabay.com)

Menjadi seorang nelayan bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagi mereka yang hidup di pulau kecil seperti Natuna. Natuna merupakan sebuah pulau kecil dalam gugusan Kepulauan Riau di ujung utara Indonesia. Layaknya semboyan Natuna yaitu Laut Sakti Rantau Bertuah, yang artinya bahwasanya Natuna bukan hanya sebuah wilayah perairan semata namun mempunyai potensi kekayaan alamnya dan membawa keberkahan bagi warganya.

Pulau ini dihuni mayoritas masyarakat Melayu yang berprofesi sebagai nelayan. Mereka tinggal di pesisir pantai dan dari lautan luas itulah mereka mencari rezeki. Selain menjunjung tinggi adat istiadat, orang Melayu juga dikenal sebagai masyarakat yang ulet dan pekerja keras.

Tidak semua nelayan memiliki kapal sendiri untuk melaut. Ada kalanya mereka harus menyewa kapal nelayan hanya untuk sekali berangkat. Namun, tidak jarang pula mereka saling membantu satu sama lain untuk bisa ikut melaut bersama pemilik kapal.

Kapal-kapal tersebut juga membutuhkan perawatan berkala, mulai dari mesin, kondisi badan kapal, hingga kelengkapan keamanannya. Ada pula jenis kapal berukuran kecil yang hanya muat untuk dua orang, dan mereka berlayar dengan mendayung secara manual.

Jenis kapal seperti ini biasanya digunakan oleh nelayan yang telah berpengalaman. Meski ombak di Natuna relatif ramah, gelombang besar dapat terjadi pada musim utara. Kondisi inilah yang menjadi tantangan terbesar para nelayan: menghadapi musim utara.

Musim utara adalah kondisi ketika air laut pasang, cuaca ekstrem, curah hujan tinggi, dan berpotensi disertai badai atau angin kencang dari arah utara. Masyarakat setempat sangat familiar dengan istilah ini.

Pada kondisi seperti ini, biasanya muncul imbauan larangan melaut karena sangat membahayakan keselamatan. Musim utara umumnya terjadi mulai November hingga Maret. Selama kurang lebih setengah tahun, para nelayan harus berhenti melaut demi keselamatan diri mereka. Jika tetap dipaksakan, risikonya dapat mengancam nyawa.

Para kepala keluarga harus memutar otak untuk beralih profesi demi mencukupi kebutuhan hidup. Mereka tetap harus makan, membiayai pendidikan anak-anak, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak cerita yang saya temui di sini.

Tidak sedikit bapak-bapak yang kemudian bekerja sebagai tukang bangunan, tukang potong rumput, tukang mebel, pedagang pasar, hingga pekerja harian di warung makan. Semua dilakukan demi kestabilan ekonomi keluarga. Keahlian tangan mereka seolah dituntut untuk bisa melakukan banyak hal demi bertahan hidup.

Sebagian hasil tangkapan ikan pun ada yang dikeringkan dan dijadikan ikan asin agar dapat bertahan lama selama musim utara berlangsung. Ikan asin ini bisa dijadikan persediaan lauk atau bahkan dijual ke pasar dan warung kecil sebagai tambahan penghasilan.

Namun, kehidupan tetap membutuhkan uang untuk biaya sekolah dan kebutuhan rumah tangga. Karena itu, beralih profesi menjadi salah satu jalan utama untuk menyambung hidup.

Natuna adalah sebuah pulau kecil yang berstatus kabupaten dengan fasilitas umum yang masih sangat terbatas. Jarak antar pulau yang cukup jauh dan biaya transportasi yang besar membuat harga kebutuhan pokok di Natuna relatif tinggi.

Pulau ini juga dihuni oleh masyarakat transmigrasi yang turut berperan dalam menggerakkan perekonomian. Mereka bercocok tanam, berkebun, berternak, dan menjual hasilnya ke berbagai wilayah Natuna.

Beragam suku yang hidup di Natuna membangun kehidupan yang harmonis dengan cara hidup yang sederhana, tidak terburu-buru, dan damai. Dengan jumlah penduduk yang belum padat, kita dapat belajar banyak tentang kehidupan di Natuna: hidup saling membantu, jauh dari gaya hidup hedonis, dan dekat dengan nilai-nilai spiritual yang kuat.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak