Sharenting, Bencana atau Dukungan Moril bagi Anak?

Hernawan | erik nurhidayat
Sharenting, Bencana atau Dukungan Moril bagi Anak?
Ilustrasi anak bermain gadget (Pexels/fzant)

Sharenting menurut saya adalah fenomena membagikan privasi foto atau video agar dilihat dan mendapat respons dari siapa saja yang melihatnya. Saya merupakan orang tua  dari anak yang telah berumur 3 tahun. Saya memilih untuk menjadi orang tua yang sangat protektif terhadap anak. Menurut saya sharenting adalah suatu perilaku yang sangat bahaya bagi kehidupan saya dan keluarga, terutama dengan anak saya.

Di dunia ini baik secara nyata ataupun maya, tidak dipungkiri bahwa tidak semua orang menyukai kita. Walaupun saya dan keluarga berusaha menjadi keluarga yang sempurna dan baik di mata masyarakat, tapi kita tidak tahu kata-kata apa yang akan keluar dari berjuta mata dan berjuta mulut masyarakat ketika saya telah membagikan foto atau video mengenai keluarga saya terutama anak saya.

BACA JUGA: Melawan Stigma Negatif Perempuan Bekerja

Dalam Islam dikenal istilah penyakit A’in yaitu penyakit yang ditimbulkan dari pandangan mata yang berkaitan dengan perasaan hati yaitu perasaan iri dan dengki. Menurut paham saya bahwa penyakit ini akan timbul ketika kita menelan banyak kata-kata baik atau buruk mengenai foto atau video yang dibagikan. 

Banyak di luar sana, para orang tua yang sering membagikan momen bahagia keluarga dan anaknya. Atau juga, seorang konten kreator yang memanfaatkan media sebagai ajang menghasilkan cuan dari postingan lucu dan menarik dari foto-foto anak yang diunggahnya dengan harapan akan banyak follower sehingga endorse akan banyak masuk.

Tapi apakah orang tua berpikir bagaimana perasaan anak-anak kita? Apakah mereka senang atau justru sedih dan merasa dijadikan boneka dan alat pencetak uang? Bagaimana kabar ikatan batin antara orang tua dengan anaknya? Dan apakah tumbuh kembang anak akan baik atau justru akan terkotak dengan teknologi? Bagaimana kelak masa depan anak yang dikontenkan? Saya yakin psikologi anak akan terganggu dan pastinya kasih sayang yang timbul adalah rasa yang semu.

Tak sampai di situ, juga ada foto anak yang sedang terbaring sakit dengan alasan agar mendapat doa dan dukungan moril dari orang di luar sana. Namun apakah respons mereka yang melihatnya akan sesuai yang diharapkan? Pernahkah kita berpikir bahwa di dunia ini banyak hati dan pikiran yang berbeda dan pastinya akan timbul pro dan kontra? Apa kabar dengan orang tua zaman dahulu yang sama sekali belum punya gadget?

Saya terlahir dari orang tua yang hebat jauh dari budaya asing, sentuhan gadget dan postingan publik. Saya empat bersaudara dan semuanya tumbuh sehat dan sudah punya kehidupan masing-masing. Istri saya terlahir dari orang tua yang melahirkan enam anak. Di sini saya hanya ingin menyampaikan bahwa orang tua zaman dahulu tidak butuh sama sekali canggihnya gadget atau teknologi masa kini.

Suka dan sedih mereka kelola sendiri sedemikian rupa tanpa campur tangan orang lain. Mereka lahir dan diajarkan untuk hidup mandiri sehingga daya survive-nya sangatlah tinggi. Mereka tahu batas kemampuan diri dan bagaimana harus berbuat. Dibanding dengan orang tua sekarang yang ingin diakui baik dan belum tentu baik secara lahir dan batinnya. 

Pakar Parenting, Cahyadi Takariawan menyebut bahwa dampak negatif sharenting itu mengarah kepada tindak bullying. Bisa jadi, anak remaja merasa malu dan minder karena kisah dan foto masa kecil mereka dijadikan bahan ejekan. Pak Cah meminta orang tua menetapkan batas-batas dalam melakukan sharenting. Tidak setiap foto dan cerita anak harus diunggah di medsos. Jika ingin sharenting, lakukan seperlunya saja, tanpa harus mengekspos semua hal tentang anak.

Saya dan istri telah sepakat untuk menyimpan memori keluarga terutama anak menjadi album kenangan yang tak perlu digembor-gemborkan. Orang akan tahu sendiri ketika mereka silahturahmi ke tempat kami. Coba bayangkan, orang desa dan orang kota sangatlah berbeda segi sosialnya. Sisi individualnya lebih tinggi di kota.

Sedangkan di desa, sepanjang mata memandang, rumah yang tidak mesti berdekatan namun mereka saling mengenal satu sama lain. Faktor utamanya adalah mereka masih memiliki rasa solidaritas dan saling srawung (silahturahmi) satu sama lain.

Kesimpulannya adalah sharenting menurut saya adalah bahaya bagi keluarga saya terutama untuk anak saya. Anak itu perlu dijaga kemurniannya, seperti halnya fitrah anak yang suci. Lebih baik meraup energi positif di sekitar kita dan terdekat kita dibanding kita harus mengemis belas kasih dari teman-teman virtual yang belum jelas teman atau justru menjadi musuh bagi kita. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak