Di era yang modern ini, kita sadar bahwa kesetaraan hadir di berbagai bidang kehidupan. Hal ini adalah wajar adanya. Kesetaraan di berbagai bidang kehidupan adalah kondisi di mana setiap individu memiliki hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi gender.
Dalam wilayah pesisir, kita tahu bahwa aktivitas perikanan sering kali bukan hanya menjadi urusan laki-laki. Perempuan ikut memanen kerang, mengumpulkan rumput laut, menangkap ikan, menjemur ikan, mengolah hasil tangkapanya, hingga menjaga ekosistem wilayah pesisir.
Mereka jelas bekerja sebagai nelayan, layaknya nelayan pada umumnya. Mereka bekerja dari subuh hingga sore atau bahkan malam, namun ironisnya negara sering kali tak mengakui keberadaan nelayan perempuan.
Disadur dari BETAHITA, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyoroti UU 7/2016 karena tidak adanya jaminan pengakuan kepada perempuan yang berprofesi sebagai nelayan dalam UU tersebut. Padahal, saat ini terdapat 3,9 juta jiwa perempuan nelayan yang belum mendapatkan pengakuan atas profesi sebagai nelayan dari pemerintah.
Identitas hukum yang tak tercatat tentu berdampak pada perempuan nelayan, mereka akan berada dalam posisi yang rentan ketika berada di ruang hidup pesisir.
Inilah paradoks yang terus berulang dimana ketidaksetaraan bahkan hadir di wilayah pesisir. Perempuan adalah tulang punggung sektor perikanan, namun tidak menjadi subjek hukum yang dilindungi.
Ketika Negara Tidak Mengakui Perempuan sebagai Nelayan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Kiara menyoroti ada jutaan jiwa perempuan nelayan yang belum mendapatkan identitas profesi sebagai nelayan. Kenyataan di lapangan mereka sering dianggap sebagai ibu rumah tangga, meski pekerjaan mereka punya bagian penting sebagai rantai produksi perikanan.
Identitas hukum adalah hal yang penting. Tidak munculnya identitas hukum ini akan membuat perempuan nelayan mengalami kerugian seperti:
- Tidak mendapat kartu nelayan
- Tidak masuk skema subsidi BBM, asuransi, atau bantuan alat
- Tidak ikut serta dalam musyawarah dalam zonasi laut
- Tidak diakui sebagai pencari nafkah; dan masih bayak lagi,
Akar dari ketidakadilan struktural di wilayah pesisir untuk perempuan pesisir adalah nyata adanya. Mereka hidup tanpa identitas dan tanpa hak layaknya nelayan sesungguhnya.
Ruang Hidup yang Hilang
Tak bisa dipungkiri, tidak diakuinya status perempuan nelayan juga berdampak pada hak tenurial. Hak tenurial sendiri adalah hubungan sosial dan hukum yang mengatur siapa, bagaimana, dan dalam kondisi apa seseorang atau kelompok dapat mengakses, menggunakan, mengelola, mengontrol, dan bahkan mengalihkan lahan atau sumber daya alam
Ketika perempuan tidak masuk ke dalam dokumen tenurial atau dokumen zonasi wilayah pesisir yang resmi. Posisi mereka akan menjadi sangat rentan. Tak bisa dihindari jika ada proyek besar yang menggeser ruang hidup nelayan perempuan.
Dilansir dari Mongabay, Kiara mencatat, terdapat beberapa kebijakan berisiko merampas ruang hidup dan memarjinalkan nelayan antara lain; Pertama, liberalisasi pertambangan pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi laut; Kedua, legalisasi perampasan ruang kelola nelayan melalui kebijakan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL); Ketiga, penimbunan laut atau reklamasi; Keempat, integrasi penataan ruang yang tidak melibatkan dan mengakomodir ruang kelola nelayan dan masyarakat pesisir; Kelima, penangkapan ikan terukur; Keenam, legalisasi industri pertambangan nikel dengan dalih hilirisasi. Ketujuh, proyek strategis nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden Nomor 12/ 2025.
Perempuan nelayan yang biasa bekerja dan berada di satu kawasan selama puluhan tahun dapat dilarang masuk dengan alasan itu. Ketika negara tidak mengakui perempuan sebagai nelayan dalam dokumen resmi, maka perlindungan untuk mereka pun juga sulit untuk direalisasikan.
Hukum Ada, Namun Tak Cukup Jika Tak Mencatumkan Perempuan
Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam mendefinisikan nelayan secara umum sebagai “setiap orang” (Pasal 1 ayat 3). Perempuan hanya disebut secara tidak langsung melalui “keluarga nelayan” dalam konteks pemberdayaan atau penyediaan fasilitas pendidikan dan pelatihan (Pasal 45, Pasal 46).
Pendekatan genderless ini secara teoritis dapat mencakup laki-laki maupun perempuan, namun dalam praktiknya, bias gender dapat muncul karena interpretasi umum bahwa profesi nelayan lebih lekat dengan peran laki-laki. Akibatnya, banyak perempuan nelayan yang terlibat aktif di berbagai tahapan rantai nilai perikanan mulai dari praproduksi, produksi, hingga pasca-produksi tidak mendapatkan pengakuan yang setara.
Posisi mereka sering dianggap sebagai “pendukung” atau bagian dari rumah tangga nelayan, alih-alih sebagai individu profesional dalam sektor perikanan. Bias gender ini tercermin dalam interpretasi oleh kepala desa dan legislator, yang sering kali tidak mencatat perempuan sebagai nelayan di KTP.
Akibatnya, perempuan kesulitan memperoleh jaminan dan bantuan sosial bagi nelayan seperti asuransi, Kartu Nelayan, Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan, BPJS Ketenagakerjaan, bantuan subsidi bahan bakar, maupun berbagai program pelatihan dan pengembangan usaha. Akses kepada program pemerintah tersebut hanya mungkin apabila perempuan telah memiliki KTP dengan profesi sebagai nelayan
Hukum harusnya bukan soal keberadaan aturan, namun juga harus mencatut siapa yang diakui. Jika nelayan perempuan tak punya payung hukum, maka mustahil untuk mendapatkan perlindungan.
Saatnya Mengakui Identitas Hukum Perempuan Nelayan
Berdasarkan catatan yang telah penulis uraikan, bagi penulis solusi yang dibutuhkan oleh perempuan nelayan saat ini adalah identitas hukum yang resmi. Sudah saatnya negara mengakui perempuan nelayan sebagai profesi utama.
Langkah sederhana ini adalah langkah yang penting untung mengembalikan hak-hak perempuan nelayan yang lama hilang. Perempuan nelayan harus berjaya dengan pemenuhan hak tenurial, ha katas ruang hidup, hak berpartisipasi dan hak untuk tidak digusur.
Perubahan kebijakan harus dimulai dengan dari pendataan yang adil, revisi UU dengan memasukkan perempuan secara eksplisit. Karena selama perempuan nelayan tak punya identitas hukum yang resmi, maka yang hilang bukan hanya nama namun kehidupan dan masa depan mereka.
