Apa lagi yang bisa diperbuat teater yang bertujuan untuk menggugah kesadaran sosial ketika internet mengambil alih hampir semua diskusi komunal. Pertanyaan pahit itu salah satunya mengemuka dalam pertunjukan kelompok teater Okazaki Art Theatre dari Jepang, dengan lakon +51 Aviacion San Borja yang dipentaskan di Teater Salihara, 6-7 September 2017. Pementasan ini menjadi bagian dari festival sastra dan gagasan: LIFEs yang merupakan bentuk baru dari Bienal Sastra Salihara.
Mengangkat judul Viva! Reborn!, festival ini menampilkan fokus utama “Membaca Amerika Latin” yang nantinya akan berpuncak pada Oktober sebagai bulan bahasa. Untuk itulah, lakon +51 Aviacion San Borja yang sudah ditampilkan Okazaki Art Theatre di Sydney Festival (Australia), Kunstenfestivaldesarts (Belgia), dan Festival d’Automne á Paris (Prancis) selama tahun 2016, menjadi bagian dari LIFEs karena mengangkat kehidupan imigran Jepang di Meksiko.
Dimainkan tiga aktor: Masahiko Ono, Wataru Omura, dan Mari Kodama, pementasan berdurasi 90 menit yang dibawa ke Indonesia oleh Japan Foundation ini menampilkan konsep pemanggungan metatheatre – sebuah format lakon di dalam lakon yang menyoroti situasi teatrikal secara mikroskopik yang sering kali melibatkan teknik parodi untuk menarik perhatian penonton terhadap sejumlah konvensi literatur yang digunakan.
Jadi jangan harapkan penonton akan mendapatkan sebuah dialog-dialog yang mudah dipahami atau membentuk sebuah kisah yang naratif. Kalimat-kalimat yang dilontarkan para pemain, sering kali berkarakter puitis dan metaforik. “Tanah yang tak kukenal… batu-batu nisan luluh menyatu dengan cakrawala hijau. Mereka menyongsongku dengan mulut menganga,” ujar salah satu aktor sambil bergerak ke sana ke mari dengan gestur ganjil.
Dialog-dialog yang mereka lontarkan secara bergantian, kerap kali tak bisa dihubungkan secara logis dengan gerakan-gerakan tubuh mereka. Bisa saja seorang aktor berucap terus menerus dalam posisi badan setengah berbaring telentang, atau aktor lainnya berdiri menatap penonton dalam kostum surealis berupa topeng dan kedua tangan yang dipasangi semacam pipa coklat. Properti panggung hanya berupa karpet berwarna bendera Meksiko dan di atasnya, dihamparkan koper-koper yang terbuka memuntahkan pakaian-pakaian yang kerap kali dikenakan para aktor di atas panggung.
Dari narasi-narasi yang mereka lontarkan, terhimpun pandangan, kisah, dan curahan hati para imigran Jepang yang hijrah ke sejumlah negara Amerika Latin. Sebagian besar Peru. Tema ini sangat lekat dengan kehidupan nyata sang sutradara, Yudai Kamisato, yang lahir dari keluarga imigran Jepang di kota Lima, Peru, dan kemudian dibesarkan di Kota Kawasaki, Jepang.
Dialog-dialog yang disusun Kamisato, digabungkan dengan sejumlah dialog yang seolah-olah dituturkan karakter Seki Sano, dramaturg yang dikenal sebagai “Bapak Teater Meksiko”. Sano seorang aktivis Marxist yang lari dari negaranya, sempat hidup beberapa tahun di Rusia, dan kemudian pindah ke Meksiko. Dari kemunculan karakter Sano inilah, mengemuka pandangan-pandangan betapa mustahilnya mengembalikan peran teater seperti di masa lalu, di mana teater bisa berpengaruh pada sejumlah pergerakan sosial. Saat ini, wacana-wacana sosial – bahkan keputusan mobilisasi massa – bisa dilakukan dalam ruang bernama Internet.
Sebagai sebuah pertunjukan yang berbasis kata-kata, tak bisa dipungkiri bahwa kendala bahasa mengalihkan perhatian penonton untuk menikmati akting para pemain. Dengan kata-kata yang liris, puitis, dan memiliki makna-makna yang bersayap, sangat wajar jika para penonton akan lebih terpusat membaca teks di layar, ketimbang mengikuti gerakan dan mimik muka ketiga aktor. Di luar kendala tersebut, lakon ini layak disimak sebagai bagian dari upaya teater untuk kembali berdaya memberi kritik pada perjalanan kebudayaan peradaban manusia.
Artikel ini dikirim oleh Dewi Ria Utari, pewarta dan penulis fiksi, seni, dan budaya
Ikuti media sosial dia di instagram @dewiriautari; twitter @writingria
dan FB: Dewi Ria Utari