Inilah Catcalling, Musuh Semua Perempuan!

Fabiola Febrinastri | Fabiola Febrinastri
Inilah Catcalling, Musuh Semua Perempuan!
(Shutterstock)

Catcalling adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kita, yang mana korban dari fenomena ini didominasi oleh perempuan. Bayangkan, kamu sedang berjalan di suatu tempat, tiba-tiba kamu melewati segerombolan cowok dan mereka mulai memanggil-manggil kamu atau meneriaki beberapa hal.

Teriakan bisa bermacam-macam, mulai dari meminta kamu menengok dan melihat ke arah mereka, meminta kamu tersenyum untuk mereka, bertanya kamu hendak kemana, bertanya apakah kamu ingin ditemani, meminta berkenalan, dan lain lain.

Apakah hal ini tidak asing? Rasanya hampir setiap perempuan pernah mengalami situasi semacam ini.  Inilah yang disebut dengan catcalling. Bentuknya macam-macam, bisa siulan, panggilan, dan komentar yang bersifat seksual atau tak diinginkan dari lelaki kepada perempuan yang lewat. Secara lebih luas, street harassment adalah bentuk pelecehan seksual yang dilakukan di tempat publik.

Menurut riset dari Hollaback di 42 kota di seluruh dunia, 71 persen perempuan pernah mengalami street harassment sejak usia puber (11-17 tahun), dan lebih dari 50 persen di antaranya termasuk pelecehan fisik. Namun catcalling dan street harassment sendiri adalah fenomena yang masih jarang sekali diteliti dan dibahas lebih lanjut. 

Oleh karena itu, isu ini seringkali masih dianggap remeh, dianggap sebagai sesuatu yang akan dimaklumi, seolah hal ini dianggap wajar sehingga perempuan harus memaklumi perlakuan tersebut.Street harassment seringkali dikaitkan dengan pemerkosaan. Di sini kita tidak akan berbicara mengenai pemerkosaan yang bisa menjadi satu tulisan berbeda.

Namun ada benang merah yang bisa ditarik dari keduanya, bahwa kerap kali perempuan sendirilah yang disalahkan, karena memakai pakaian yang dianggap “terlalu terbuka” atau “mengundang”. Padahal sebenarnya, paham bahwa perempuan berhak menerima perlakuan tertentu karena caranya berpakaian dan berpenampilan adalah bagian dari rape culture.

Perlu ditanamkan bahwa, no matter what they choose to wear, they are not asking to be raped!

Sebagian besar laki-laki tidak pernah mendapatkan catcalling oleh perempuan. Mereka yang berjalan di jalanan gang atau tempat ramai dengan muka cemberut tidak akan pernah diminta untuk tersenyum oleh wanita yang dilewatinya.

Laki-laki tidak akan pernah mendapatkan perkataan mengenai tubuhnya atau mendengar apa yang dilakukan seorang perempuan kepadanya tanpa persetujuan lelaki tersebut. Situasi ini mencerminkan, bentuk pelecehan adalah berdasarkan gender.

Beberapa orang menganggap sepele hal ini karena beranggapan, para lelaki hanya mengungkapkan pujian dan tanda bahwa kamu “menarik”, sehingga mendapat perhatian. Perlu ditekankan bahwa komentar yang bernada seksual bukanlah pujian.

Apakah dalam situasi tersebut kamu memiliki alasan dan menginginkannya terjadi? Apakah terdapat persetujuan secara baik, di mana perempuan hanya dianggap objek saja.

Semua orang memiliki hak atas tubuhnya sendiri, yang berarti tak sembarang orang berhak mengomentari tubuh dan penampilan perempuan. Seolah tubuh perempuan di publik hanya untuk dinikmati saja, menjadi milik publik dan bukan milik dirinya sendiri

Stop Telling Women to Smile adalah sebuah pergerakan yang digagas oleh seniman asal New York bernama Tatyana Fazlalizadeh. Untuk melawan pelecehan seksual berdasarkan gender, ia membuat kampanye untuk meningkatkan kesadaran dengan seni sindiran di publik terbuka.

Catcalling di Indonesia
Kami melakukan wawancara dengan salah satu korban catcalling, Diandra (27 tahun), pegawai bank. Dia menuturkan, hampir setiap hari dia mendapatkan perlakuan catcalling.

Misalnya saat melewati depan gang jalanan rumahnya Ketika ada seorang laki-laki, yang dia tak kenal, bersiul dan meneriakkan “neng”. Emosinya akan bercampur antara marah dan takut.

Dia menuturkan, “Saya marah, saya tidak terima dengan apa yang laki-laki itu lakukan terhadap saya. Tapi saya juga takut dan tidak berbuat apa apa mengenai hal tersebut."

"Setiap kali saya berjalan kaki, walau cuman sekadar dari rumah ke warung yang jaraknya dekat, saya selalu jalan menunduk dan mengepalkan tangan. Beberapa kali saya diteriaki oleh beberapa kuli bangunan di dekat rumah saya, disiuli. Saya sadar bahwa alasan saya menunduk adalah rasa takut saja, dan alasan saya mengepalkan tangan adalah karena saya marah,” tambahnya.

Salah satu pengalaman yang berat untuk diceritakan ke orang lain adalah pelecehan seksual di jalan atau street harassment yang pernah Tania (17 tahun) alami.

“Saat itu, aku sedang menuju toko buku. Aku mengenakan seragam SMA dengan rok semata kaki. Atasan yang aku pakai tidak pas badan kok, aku bukan tipe murid yang mengecilkan baju agar bentuk tubuhku terlihat jelas. Di depan jalanan, gang rumah, ada beberapa anak lelaki yang aku perkirakan masih berusia SD. Saat aku melewati mereka. Tiba-tiba mereka menggoda aku dan memukul pantat aku. Rasanya aku ingin menangis. Bayangkan, catcall dan street harassment dilakukan oleh anak kecil, dan lagi-lagi, aku tak berbuat apa-apa.”

Catcall dan street harassment terjadi bukan karena pakaian yang digunakan. Hal tersebut terjadi karena kita adalah perempuan.

Entah apakah hal ini benar atau tidak, namun dari apa yang diperhatikan dari teman-teman dan lingkungan, banyak orang yang membiarkan diri menjadi korban catcall.

Bbahkan ada yang menganggap hal tersebut sebagai suatu pujian. Namun, hal ini bukan hal yang dapat dimaklumi dan tidak akan pernah menjadi suatu pujian.

Catcall adalah perbuatan yang mengganggu keamanan dan kenyamanan seseorang. Catcall adalah kekerasan secara aksi. Catcall juga bentuk rasa tidak hormat kepada para perempuan.

Mengapa harus wanita yang menjadi objek kekerasan seksual? Mengapa kasus catcalling sangat memperlihatkan ketimpangan gender?

Mengapa pria jarang mendapatkan catcall? Mengapa wanita harus merasakan ketidaknyamanan berada di lingkunannya sendiri? Hal inilah yang menjadi masalah besar dan benang merah catcalling.

Cara termudah jika catcalling terjadi pada kita adalah dengan memberikan tatapan marah, sinis dan sejijik mungkin, hingga mereka merasa tak nyaman sendiri, atau bisa juga memberikan gestur tak suka Jika kebetulan kalian takut menegur langsung, bisa meminta pertolongan pada orang terdekat.

Masalah catcalling memang masih jadi isu yang sulit dan jarang diperhatikan, karena kurangnya pengetahuan soal pelecehan seksual dari para pelaku, hingga belum ada payung hukum yang mengatur ini. Dalam UU Kekerasan Seksual pun problem ini tidak dimasukkan secara khusus, dengan alasan susah memperoleh saksi mata.

Budaya catcalling harus diubah dan laki laki harus menggerti dan mengakui, bahwa yang mereka lakukan adalah salah. Mereka harus menyampaikan itu ke teman-teman, tetangga, keluarga dan rekan.

Pendidikan harus mulai sejak dini di sekolah dan pemerintah harus menyediakan edukasi tentang berbagai bentuk pelecehan seksual.  Meskipun hukum yang mengatur tentang catcalling akan sulit ditegakkan, apalagi di Indonesia, cara untuk menangani kasus tersebut bisa menjadi salah satu tanda untuk perubahan yang baik.

Penelitian tentang Catcalling
Lantas bagaimana cara menghadapi catcalling? Hollaback di Jakarta pada 2017 pernah menggagas kampanye anti pelecehan dengan turun ke jalan dan lewat Twitter. Di AS, Hollaback juga memiliki kampanye berbentuk video, grafik, dan komik yang menarik dan mudah dipahami mengenai hal ini.

Cara yang lebih unik diterapkan pelajar asal Amsterdam, Noa Jansma, yang rutin mengunggah foto pelaku catcalling di akun Instagram-nya @dearcatcallers. Aksi ini dilakukan dengan tujuam untuk mengkampanyekan penolakan terhadap fenomena catcalling.

Di AS, berdasarkan catatan yang dirilis situs Stop Street Harassment, 65 persen perempuan dinyatakan pernah mengalami pelecehan di jalan alias street harassment pada tahun 2014. Sementara, hasil studi peneliti dari kelompok anti pelecehan yaitu iHollaback dan Cornell University pada tahun yang sama menunjukkan, 84 persen perempuan dari 42 negara pernah mengalami pelecehan di jalan sebelum menginjak 17 tahun. (Sumber:  @dearcatcallers)

Bagaimana dengan indonesia? Survei dari YouGov menempatkan Jakarta sebagai kota kelima di dunia dengan tingkat pelecehan verbal terhadap perempuan paling tinggi, khususnya di transportasi umum. Empat kota di atasnya ialah Mexico City, Delhi, Bogota, dan Lima. (Sumber:  @dearcatcallers)

Hal-hal tak menyenangkan seperti ini dianggap biasa dialami perempuan, tetapi tak semuanya sadar bahwa yang mereka terima merupakan pelecehan seksual. Melapor kepada yang berwajib pun jadi sulit lantaran di Indonesia, karena belum ada UU yang mengatur mengenai catcalling atau street harassment.

Hal ini ditambah sulitnya saksi saat kejadian, kasus pelecehan verbal yang dialami perempuan pun hanya di anggap angin lalu. Menghadapi catcalling, perempuan tentu saja lebih sering diam dan berupaya tak peduli. Mereka yang mencoba melawan balik, hanya akan ditertawakan oleh para pelaku.

Untuk di Indonesia, sejak tahun 2011 Komnas Perempuan mencatat angka pelecehan seksual meningkat hingga hampir 100 persen. Setidaknya 268 kasus pelecehan seksual terjadi di ranah komunitas.

Angka tersebut masih tidak akurat, karena hanya menghitung dari jumlah laporan yang diterima korban. Sementara kasus-kasus lain yang tak dilaporkan karena korban tak berani bersuara, otomatis tak bisa ikut dihitung. Diam tak selamanya emas. (Sumber:  @dearcatcallers)

Fenomena catcalling membuat Kate Walton, seorang warga Australia yang telah tinggal di Indonesia lima tahun, melakukan eksperimen dengan berjalan kaki dari Pasar Mayestik menuju Plaza Senayan, Jakarta Selatan. Sepanjang perjalanan, Kate menerima perlakuan catcalling dalam berbagai jenis, mulai dari disiuli hingga blak-blakan diteriaki dengan kata-kata tak pantas.

Kate menerima catcalling13 kali sepanjang setengah jam berjalan kaki dari Mayestik ke Plaza Senayan.

Belgia jadi negara pertama yang membuat undang-undang bahwa catcalling adalah aksi ilegal, menyusul Prancis akhir tahun 2017, yang mulai membahas aturan catcalling.

Di Indonesia sendiri belum ada istilah ‘pelecehan seksual’ di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Negara kita memakai istilah ‘cabul’, yang dalam pasal 289-296 KUHP mendefinisikan kata cabul sebagai perbuatan melanggar norma kesusilaan, mencakup aktivitas menggodai, menyentuh, dan aktivitas lain yang melecehkan orang lain secara seksual.

Jadi apa yang bisa kita lakukan saat digoda orang tak dikenal?

1. Pertama, kita harus bisa pura pura tidak mendengar! Sok tak lihat dan tidak merasa.

2. Kedua, hindari jalan sendirian dan lebih baik pilih jalan bersamaan, terutama di tempat-tempat yang rawan terjadi catcalling.

3. Ketiga, kalau terlanjur digoda, kita bisa lihat mata mereka, seolah kita tidak terima. Ini akan ampun karena mereka akan merasa tidak enak hati.

Solusi terbaik untuk menghadapi catcalling adalah dengan MELAWAN. Jangan diam!

Kita sebagai perempuan harus bersuara dan jangan menganggap kasus ini adalah sebuah candaan semata.

Solusi lain, adanya edukasi tentang pelecehan seksual dengan berbagai macam kategori dan pentingnya edukasi tentang catcalling sejak dini.

Catcalling bukanlah candaan. Ini pelecehan seksual dan ketimpangan gender.

Jangan sampai wanita hanya sebagai objek pemuas pria saja. Kita harus bertindak dan jangan diam. Catcalling adalah musuh semua perempuan!

Pengirim: Zulfa Maharani Putri, mahasiswa London School Of Public Relation, semester 3

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak