Terdengar kabar gembira disaat Indonesia terpilih kembali menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) yang mewakili kawasan Asia Pasifik untuk periode 2020-2022. Keunggulan Indonesia dalam memperoleh posisi ini didapati dari proses pemilihan dengan total suara sebanyak 174.
Tentu keberhasilan ini patut kita berikan apresiasi, capaian yang kelima kalinya kita menjadi anggota Dewan HAM PBB. Dimana pada sebelumnya kita menjadi anggota Dewan HAM PBB pada periode 2006-2007 (bahkan turut sebagai founding member), 2007-2010, 2011-2014 dan 2015-2017.
Tidak dipungkiri bahwa kemenangan Indonesia tersebut hasil dari buah kerja cerdas para diplomat Kementerian Luar Negeri dalam melangsungkan kampanye dan lobi terkait pencalonan Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB. Dimana tim kampanye pencalonan Indonesia menjelang pemilihan begitu intensif melakukan pertemuan dengan berbagai negara anggota PBB.
Pendekatan dilakukan secara massif, mulai dari pendekatan pada Markas PBB di Jenewa, Swiss dan New York, Amerika Serikat, hingga pendekatan para duta besar RI pada masing-masing wilayah penugasannya dalam menggalang dukungan untuk Indonesia.
Terlepas dari lobi dan kampanye yang dilakukan oleh pihak Indonesia yang mencatat lebih dari atau sama dengan 50 kali pertemuan dengan berbagai negara, penulis mengutip pernyataan dari Menteri Luar Negeri kita, bahwa terpilihnya negara kita sebagai anggota Dewan HAM PBB dalam mewakili Asia Pasifik merupakan bukti kepercayaan dan amanah dari masyarakat internasional.
Apakah pernyataan tersebut merupakan bahasa diplomatis dan politis untuk media, tapi yang jelas penulis menemukan paradoks didalamnya. Selanjutnya, apabila sudah menjadi amanah, tentu tanggung jawab tersebut harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Keikutsertaan Indonesia untuk memajukan HAM, baik di tingkat nasional maupun global yang implikasinya adalah mendorong percepatan terwujudnya keadilan sosial. Sebagaimana kita ketahui bahwa Dewan HAM PBB terdiri sebanyak 47 negara anggota.
Pendistribusiannya dilakukan secara geografis, yaitu kawasan Asia Pasifik sebanyak 13 kursi, Afrika 13 kursi, Karibia dan Amerika Latin 8 kursi, Eropa Timur 6 kursi, dan Eropa Barat dan negara lainnya 7 kursi.
Seperti yang kita banggakan, bahwa keberhasilan Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB sebagai perwakilan dari Asia Pasifik patut kita ulas kembali. Sebab persoalan HAM di Indonesia sendiri masih begitu banyak yang belum terselesaikan, terlebih di Papua yang begitu dekat dengan kawasan Asia Pasifik dan permasalahan HAM di Papua pada tahun ini juga masih memberi kabar pilu. Dan Papua merupakan contoh daerah di Negara kita atas sulitnya mewujudkan keadilan sosial.
Gejolak Papua dan Pelanggaran HAM yang Tersembunyikan
Bumi Cendrawasih nyaris menjadi sumber berita kekerasan dan selalu dibelenggu olehnya (pelanggaran HAM). Semula Presiden Joko Widodo memiliki niatan baik dalam membangun Papua melalui pendekatan Non-keamanan sebagai perwujudan dari program percepatan pembangunan.
Baik itu pembangunan infrastruktur seperti halnya jalan raya maupun upaya meningkatkan kualitas SDM dengan pembangunan sekolah, beasiswa khusus, peningkatan kualitas guru, dan lainnya. Namun, persoalan Hak Asasi Manusia masih belum dilaksanakan dengan tegas sebagaimana amanat konstitusi dan agenda dari pembangunan pemerintah.
Mengulas kembali berbagai persoalan HAM di Papua pada masa lalu yang ternyata hingga saat ini belum kita peroleh pengakuan, keterbukaan, dan pertanggunjawabannya dari pemerintah serta aparatur negara terkait. Sebab kita harus menyadari bahwa pembangunan yang digencarkan selama ini untuk Papua tidak akan berlaku selama impunitas pada kasus-kasus pelanggaran HAM belum diselesaikan.
Hal tersebutlah yang menjadi faktor pembentuk kesadaran maupun anggapan orang Papua bahwa “mereka senantiasa memperoleh diskriminasi dari pemerintahan pusat”. Berbagai gejolak kekerasan di Papua maupun di wilayah lain yang dialami oleh orang Papua sebenarnya mempengaruhi kepercayaan mereka terhadap kehadiran negara.
Hingga pada akhirnya orang Papua akan memandang semua agenda percepatan pembangunan di daerahnya sebagai bentuk mempermudah kontrol terhadapnya, meskipun pada sebenarnya sebagai upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Pembangunan yang dilangsungkan akan diwaspadai sebagai strategi negara dalam mengeksploitasi sumber daya alam, memobilisasi personel bersenjata, melanjutkan ketidakadilan terhadap orang Papua dan stigma negatif lainnya.
Persoalan HAM yang terjadi di negeri kita dan khususnya Papua merupakan cerminan atas ketidaksejalanan komitmen politik pemangku kepentingan negara dalam mengembangkan aspek kesejahteraan. Sebut saja pelanggaran HAM yang telah kita tonton selama ini, akses pembangunan sumber daya manusia, aspirasi politik, hingga hak atas pengakuan identitas.
Sebagai contoh, bukankah kita dan juga orang Papua sedang menunggu keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan Peristiwa Abepura (2001), Kasus Wasior (2001), kasus Wamena (2003), dan berbagai kasus kekerasan lainnya.
Dalam konteks ini, dengan polosnya pemerintah kita secara terus-terusan membangun isu kesejahteraan sebagai strategi inti dalam menjawab kompleksitas problematika Papua. Dimana pada dasarnya kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa terlalu bercanda dan menyederhanakannya pada persoalan ekonomi, mengingat kompleksitas problematika di Papua.
Bukankah program pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat serta UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus untuk Papua menjadi bukti bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini belum mampu menyentuh akar permasalahan dan memperbaiki Papua secara signifikan. Yang kemudian tidak bisa dipungkiri apa yang telah terjadi belakangan ini, bahwa persoalan ini berimbas pada kesenjangan yang semakin tinggi, kemarahan orang Papua asli terhadap para pendatang.
Sejauh ini, banyak narasi yang beredar di media mengenai persoalan di Papua selalu dikaitkan dengan Nasionalisme, rasa cinta terhadap tanah air. Namun pernahkah kita mencoba untuk memutarnya sebagai solusi, bahwa kita sedang butuh membumikan nasionalisme itu sendiri. Negara yang mencintai dan mengayomi warganya tanpa kecuali dan tanpa batas (humanisasi nasionalisme).
Peristiwa mahasiswa Papua yang terjadi di Surabaya kemarin boleh saja kita katakana sebagai penampilan wajah Indonesia yang sebenarnya, menyoal kemanusiaan. Sejak kita merdeka hingga saat ini, 74 tahun yang lalu tidak jauh beda. Dimana Negara kita hari ini ditampilkan dengan wajah yang dicederai oleh para “negarawan”, wajah bertopeng dipenuhi kebohongan.
Pada satu sisi kita menemui wajah yang mengumbar kecintaannya terhadap Pancasila, namun pada lain sisi kita menemui secara terang-terangan mencederai kemanusiaan. Bahkan dengan lucunya, melakukan lobi tingkat tinggi dan kampanye agar Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB.
Lalu diatas HAM di negeri kita yang belum terselesaikan dengan bangga menyatakan bahwa perolehan tersebut adalah prestasi dan amanah dari masyarakat internasional.
Untuk itu, semestinya kita menghentikan lelucon yang selama ini lebih condong pada simbolis ketimbang esensialis, terutama dalam penyelesaian persoalan HAM. Kita harus benar-benar membumikan Pancasila sebagai prinsip dalam membentuk peradaban manusia dan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (humanisasi nasionalisme).
Berbagai persoalan nasional yang serius, terutama mengenai HAM menentukan sejarah masa depan bangsa kita yang harus direfleksikan kembali pada Pancasila, terutama sila kedua yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Sebagai penutup, penulis mengutip pernyataan Gandhi sebagai pesan untuk kita semua, “rasa nasionalisme saya adalah kemanusiaan (my nationalism is humanity).”
Pengirim: Al Mukhollis Siagian / Ketua PTKM HMI Cabang Padang
Email: [email protected]