Bagaimana perasaan anda ketika anda tidak diakui dalam sebuah keluarga, tidak bisa menikmati hidangan mereka, sementara anda masih tinggal bersama mereka? Sungguh menyakitkan bukan?
Seperti itulah gambaran suasana sakitnya ketika artikel buku kolaborasi saya ditolak oleh penerbit, hanya karena ingin hasil yang lebih sempurna dan ingin melengkapi 20% check plagiarism sampai akhirnya saya mencoba mengirimnya, sialnya karena ketelitian saya yang berlebihan itu saya malah menabrak deadline dan itulah menjadi alasan artikel saya ditolak.
Yang lebih ‘menyayat’ lagi adalah ketika buku tersebut sudah selesai dan diterbitkan, saya masih berada di group WA kolaborasi buku tersebut, saya masih bisa melihat hasil buku tersebut tetapi nama saya tidak ada pada deretan nama-nama penulis yang sudah ada pada sampul cover.
Setelah kejadian tersebut, batin saya terkejut, tidak siap menerima kenyataan itu, karena dari sekian banyak buku yang diterbitkan baru kali itu tulisan saya ditolak dan saya meyakini artikel yang ditolak merupakan hasil yang terbaik dari sekian banyak buku yang sudah berhasil diterbitkan oleh penerbit sebelumnya.
Setelah peristiwa tersebut, hampir satu minggu saya merasa depresi, kepala ni terasa pusing nyut...nyut...nyut, memikirkannya.
Tapi akhirnya saya tersadar dan bangkit kembali ketika ada teman yang menyarankan agar artikel yang ditolak tersebut, dicoba aja dikirim ke media online. Sejurus kemudian saya bangkit dan mencari informasi tentang media online, dan akhirnya ketemu dan langsung saya kirim artikel yang ditolak tersebut.
Beberapa hari kemudian, artikel yang saya kirim akhirnya diterbitkan di salah satu media online, melihat hal tersebut semangat saya bangkit kembali. Saya bergumam, “Ini adalah hikmah di balik tertolaknya menjadi buku, ternyata bisa diterbitkan di media online”.
Satu artikel berhasil diterbitkan di media online, memacu untuk membuat beberapa artikel-artikel lain dan diterbitkan di media online yang sama. Bahkan pernah juga mencoba menulis di media cetak koran lokal, dan alhamdulillah sudah ada beberapa yang berhasil diterbit. Semua itu saya buat secara otodidak dan belajar mandiri.
Walau kita sama-sama tahu, kata deadline ini sering diucapkan seseorang terkait dengan pekerjaannya dan diikuti dengan kinerja yang keras ketika menjelang habisnya masa kerja yang ditentukan, rasa penasaran saya timbul untuk mengetahui arti dari deadline yang ‘heboh’ ini. Saya coba ‘googling’ untuk mencari arti dari kata deadline, ingat ya, deadline bukan dateline, jangan salah menuliskannya. walaupun katanya hampir sama namun artinya berbeda.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan kata deadline???
Dateline merupakan kata khusus dalam bidang jurnalisme. Kata dalam bahasa Inggris ini dipergunakan sejak tahun 1888. Menurut Merriam Webster (2017), kata ini berarti suatu baris kata yang tertulis dalam dokumen atau terbitan cetak berupa tanggal dan tempat penyusunan atau penerbitan.
Menurut Kamus Komunikasi, Drs. Onong Uchjana Effendy, MA (2018)
“Deadline adalah tanggal atau jam terakhir yang ditetapkan media massa dalam penerimaan bahan berita, baik dari wartawan atau koresponden sendiri maupun masyarakat.
Dari kedua arti deadline tersebut sebenarnya tujuannya positif, untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum batas yang ditentukan sehingga hasilnya lebih teliti, akurat dan lebih maksimal. Tapi memang karakter kita lebih suka mengerjakan di akhir-akhir batas deadline.
Apa lagi saat di kampus kita sudah biasa mengenal sistem SKS (Sistem Kebut Semalam) dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah, ditambah lagi ada pernyataan ‘sesat’ yang seakan memberi ‘obat penenang’ dengan kalimat “Biasanya kalau di akhir-akhir akan muncul ide brilian di selah-selah pekerjaan yang waktunya sudah mepet”. Dan masih banyak lagi 1001 alasan untuk ‘melegalkan’ bekerja di akhir-akhir deadline tersebut.
Memang tidak ada yang mengharamkan sih, apalagi bisa menyelesaikannya di saat waktu akan habis. Namun biasanya pekerjaan yang dikerjakan tergesa-gesa hasilnya tidak maksimal bahkan lebih banyak mudharatnya, contohnya yang saya alami.
Belajar dari deadline tersebut dan tidak ingin ‘tersakiti’ untuk kedua kalinya, setelah itu saya senantiasa menjaga dan menghargai waktu untuk berdisiplin, kemudian menyelesaikan dan mengirimkan artikel karya tulis sebelum tanggal deadline. Ada beberapa artikel yang bisa saya kerjakan saat menganggur diantaranya ketika di warung nasi saat menunggu hujan, saat menunggu service kendaraan, ada juga saat menunggu istri belanja di pasar bahkan saya bisa menyelesaikan beberapa buku saat menunggu adik yang sedang dirawat inap di rumah sakit selama 8 hari.
Buah dari deadline saya bisa menyelesaikan 25 buku selama setahun, bahkan kisah tersebut saya buat dalam sebuah artikel yang berjudul “Pengalaman yang Mengasyikan Menulis 25 Buku dalam Satu Tahun” dan “7 Tips Jitu, Menulis 25 Buku dalam Satu Tahun Saat Pandemik Covid-19”, kemudian artikel tersebut sudah diterbit di media online pada rubrik motivasi.
Hikmah dari deadline itu, saya terus belajar menulis artikel sampai akhirnya saya bisa bergabung dalam workshop Menulis Online yang dibimbing oleh seorang esais yang tulisannya tersebar di Detik.com, Mojok.com, Kumparan.com dan berbagai media online lainnya. Sekarang saya sudah bisa menulis artikel dan beberapa artikel diterbitkan sudah diterbitkan di beberapa media online.
Itulah deadline kata yang menakutkan tapi bisa menjadi obat memang pahit, tapi bisa menyembuhkan bahkan menyegarkan untuk membuat lompatan-lompatan kerja dengan hasil yang lebih baik lagi.
Penulis, Guru SMK Telkom Medan & Dosen Politeknik Ganesha Medan