Pada akhirnya kita sampai di hari ini, seperti katamu dahulu. Hari ketika janji-janji berlaku ingkar. Ketika salah satu dari tangan kita diam-diam melepaskan genggaman. Ketika pandang mata kita berpaling kepada yang lain. Ketika kau lihat kata-kata menjadi asing.
"Adakah orang di dunia ini yang bisa memegang janjimu?" tanyamu siang itu, siang yang biasa.
"Tentu ada, orang itu adalah aku."
"Hari ini kau bilang begitu. Suatu hari nanti, kau akan lihat sendiri."
"Lihat apa?"
"Lihat bahwa rupanya kau tak lebih dari seorang yang hanya bisa berjanji, tanpa menepati"
"Kalau aku akan mengingkari janjiku suatu hari, aku pastikan hari itu tidak pernah datang."
"Pasti datang."
"Kecuali kau yang memanggilnya."
"Ya, aku pasti memanggilnya."
"Berarti kau memang sudah merencanakan perpisahan kita. Kau memang tidak mencintaiku rupanya. Mestinya dari dulu aku tahu."
"Bukannya aku tidak mencintaimu. Aku mencintaimu. Saat ini"
"Saat nanti?"
"Mana aku tahu. Tunggu saja sampai nanti itu tiba"
Siang yang biasa itu kau berlalu begitu saja.
*
Akhirnya kita sampai di hari ini. Hari ini di mana katamu menjadi pasti. Hari di mana janji-janji menjadi tiada. Bukan aku yang mengingkari, tapi kau. Kau mengingkari janji yang kubuat.
"Jadi, dari dulu rupanya kau memang tahu kita pasti berpisah?" tanyaku.
Kau tak menjawab. Kau diam, seolah-olah tak ada yang perlu dijawab.
"Apa sebenarnya kau telah bosan jatuh cinta?"
Kau belum juga menjawab, hanya diam membisu.
"Apa kau jenuh setiap hari menggenggam tanganku?"
"Apa kau muak terus-terusan menatap mataku?"
"Apa kau risih setiap detik mendengar suaraku?"
"Apa kau tidak ingin menjawab? Satu kalimat saja." aku menunggumu membuka mulut. Tapi kau tetap diam.
"Aku perlu jawaban. Aku tunggu tiga puluh menit. Kalau kau tak bicara, aku akan pergi dari sini."
Kau tak bereaksi sama sekali atas perkataanku. Seakan-akan kau memang ingin aku cepat-cepat menjauh.
Sepuluh menit.
Masih tak ada suara. Yang terdengar hanya udara berhembus pelan.
Dua puluh menit berlalu.
Kau tak terpengaruh sama sekali. Tapi aku masih menunggu. Masih ada waktu.
Dua puluh lima menit. Sebentar lagi kau pasti membuka mulut.
Dua puluh delapan menit. Tapi kau tidak juga.
Dua puluh sembilan menit. Aku masih sabar menanti. Kau masih diam membisu.
Tiga puluh detik. Aku siap-siap beranjak. Sepertinya kau memang tidak ingin aku tahu apa alasanmu mengakhiri kita.
Sepuluh detik tersisa. Aku sudah berdiri, segera melangkah.
Lima detik. Benar-benar tidak akan ada jawaban.
Tiga detik. Dua detik. Aku berpaling.
Satu detik. Tak ada jawaban.
Nol.
Tanpa ragu aku melangkahkan kaki. Berjalan sejauh mungkin darimu yang terbujur kaku di dalam sana.
Pekanbaru, 2020