Menjadi penulis adalah suatu kebanggaan yang tak ternilai harganya. Tidak sedikit dari generasi millenial yang berkeinginan menjadi penulis. Pelatihan dan seminar kepenulisan semuanya laris.
Meningkatnya fenomena ini tentu menggembirakan jagat literasi. Genre tulisan tak lagi baku dan kaku seperti dahulu. Sebutlah Boy Candra, Fiersa Besari, atau Pidi Baiq. Ketiganya adalah penulis yang berhasil menginspirasi generasi muda.
Hanya saja, ketika semangat penulis pemula ini membuncah, terdapat batu terjal yang tak jarang menggugurkan niat awal. Banyak di antara mereka yang tumbang di tengah jalan setelah tahu menjadi penulis itu butuh proses panjang.
Nah, apa saja yang menjadi kendala sehingga penulis pemula kerap enggan meneruskan hobinya? Saya merangkumnya ke dalam 3 fakta berikut ini:
1. Malas Baca
Seorang penulis harus memiliki porsi membaca yang lebih besar daripada aktivitas menulis. Entah penulis pemula atau kelas kakap sekalipun. Mengapa? Sebab membaca tidak hanya menyuguhkan jenis cerita yang segar, nyaman, dan baru.
Tetapi juga menambah daftar kosakata sehingga diksi kita semakin kaya. Alhasil, tulisan kita tidak akan kering akan persamaan kata.
Selain itu, membaca juga memberi kita inspirasi untuk menentukan tema, jenis cerita bahkan isi konten yang kita tulis. Selama ini, banyak penulis yang salah kaprah terkait membaca.
Jika ia ingin menjadi penulis fiksi, maka harus membaca fiksi saja sesuai genre kepenulisannya. Pun begitu jika ingin menjadi penulis non fiksi, maka hanya membaca non fiksi saja.
Harusnya kita membaca apa saja, sebab tulisan kita akan meningkat lebih baik tergantung dari bacaan apa yang kita konsumsi.
Jika seseorang menginginkan menjadi penulis fiksi, maka tulisan non fiksi harus dilahap. Ini semata-mata memperkaya gagasan, ide, dan sudut pandang.
2. Mental dan Mengendalikan Mood
Tak hanya penulis pemula, penulis terkenal pun banyak yang terkendala soal ini. Mood acapkali menjadi lubang menakutkan jika dibiarkan terus-menerus.
Sialnya, banyak yang mengira jika mood itu ditunggu, bukan dicari. Padahal mood itu harus dikendalikan, bukan dibiarkan.
Persoalan mood susah-susah gampang. Tetapi bukan berarti disepelekan. Salah satu solusi mengendalikan mood kita tetap on fire adalah menciptakan mood.
Caranya, kenali situasi yang paling nyaman untuk menulis, dan lakukanlah. Misalnya, kita lebih nyaman menulis setelah subuh, saat hari masih segar dan sepi; atau, menulis di tepi sawah; atau mungkin menulis sembari mendengarkan musik. Ini bisa merangsang penulis untuk mendatangkan kondisi terbaik.
3. Menulis sekaligus mengedit
Ada satu kesalahan yang menyerang penulis pemula, yakni menulis sekaligus mengedit sehingga tulisannya tidak kelar-kelar. Padahal menulis dan mengedit pekerjaan berbeda, dan bukan di waktu bersamaan.
Mengedit harus dilakukan setelah proses menulis selesai. Jadi, sewaktu menulis, tulis saja apa yang ada dalam benak.
Tidak usah pikirkan kata-kata yang dikira kurang nyaman, atau sibuk memikirkan kesalahan pada paragraf awal. Tulis saja dahulu. Setelah selesai, endapkan selama satu hingga tiga hari.
Tujuannya apa? Agar otak kita tidak terpacu pada tulisan tersebut, sehingga pada hari keempat, kita bisa merasakan keganjalan pada tulisan.
Nah, itulah tadi 3 fakta yang sering dilakukan penulis pemula. Semoga kita bisa mempraktikkannya sehingga tak putus asa di tengah jalan saat susah mencari ide tulisan.