5 Alasan Korban Perundungan Sering Tidak Berontak

Candra Kartiko | sari rachmah
5 Alasan Korban Perundungan Sering Tidak Berontak
ilustrasi perundungan (pexels.com/Mikhail Nilov)

Dilansir Kompas, pada tahun 2018 Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) dalam riset Programme for International Students Assessment (PISA) mengungkap, sebanyak 41,1 persen murid di Indonesia mengakui pernah menjadi korban perundungan. Fakta lainnya yang terungkap, di tahun yang sama Indonesia menduduki peringkat ke-5 dari 78 negara terkait kasus perundungan

Umumnya, perundungan dapat terjadi secara verbal dan non verbal yang dilakukan secara terus-menerus dengan tujuan menyakiti korban sehingga menimbulkan ketidaknyamanan pada korban. Tindak perundungan tidak hanya menimbulkan ketidaknyamanan, tetapi juga dapat menyebabkan korban terluka secara fisik maupun psikis hingga traumatik.

Reaksi para korban dari tindakan tidak terpuji ini dapat berupa perlawanan sebagai upaya melindungi diri seperti melaporkannya pada pihak yang berwajib atau pihak yang punya kuasa, melawan secara fisik maupun verbal. 

Sebaliknya, ada juga korban-korban yang lebih memilih diam tanpa perlawanan. Beragam faktor dapat menjadi alasan para korban ini memutuskan untuk tidak melakukan perlawanan. Faktor apa sajakah itu? Cek faktanya

1. Korban perundungan merasa ketakutan

ilustrasi orang ketakutan (pexels.com/Karolina Grabowska)
ilustrasi orang ketakutan (pexels.com/Karolina Grabowska)

Korban perundungan umumnya merasa takut untuk melawan. Ia menyadari kekuatan pelaku yang lebih besar daripada dirinya. Juga, pelaku perundungan biasanya berkelompok dan korban hanya individu, hal ini membuat mental korban ciut dan berpikir dua kali jika ingin melakukan perlawanan. 

2. Korban merasa rendah diri

ilustrasi rasa rendah diri (pexels.com/Min an)
ilustrasi rasa rendah diri (pexels.com/Min an)

Pada beberapa kasus, korban merasa pantas mendapatkannya karena rasa rendah diri. Ia merasa dirinya tidak pintar, kaya, rupawan, dan sebagainya hingga ia merasa atas alasan-alasan itulah ia pantas direndahkan orang lain. 

3. Korban lebih memilih bersabar dan percaya adanya karma

ilustrasi perbuatan baik dan buruk (pexels.com/KoolShooters)
ilustrasi perbuatan baik dan buruk. (pexels.com/KoolShooters)

Selain menyadari kekuatan pelaku perundungan, korban biasanya meyakini adanya karma dan merasa tak ada gunanya memberontak. 

Setiap individu yang beragama pasti meyakini setiap perbuatan baik akan mendapat balasan Tuhan Yang Maha Esa dengan penuh kebaikan. Begitupun sebaliknya, perbuatan yang buruk akan mendapat balasan dengan limpahan keburukan. 

Bersabar dengan tindakan perundungan tidak berarti diam tanpa usaha dan pasrah. Sebab bersabar atas tindakan perundungan adalah tidak membalas dendam, pasrah dan berdoa serta menolak tindakan tersebut dengan upaya-upaya tertentu. 

4. Korban ingin mendapat pengakuan

pelaku perundungan memperdaya korban untuk melakukan sesuatu (pexels.com/Mikhail Nilov)
pelaku perundungan memperdaya korban untuk melakukan sesuatu (pexels.com/Mikhail Nilov)

Beberapa korban perundungan menerima tindakan perundungan dengan harapan diterima dalam suatu komunitas tertentu yang dianggap menarik. Umumnya, tindakan perundungan yang dilakukan komunitas tersebut terhadap korban berupa kekerasan verbal ataupun non verbal. 

Perundungan verbal dalam situasi seperti ini dapat berupa berkata-kata kasar, berteriak, membentak, meledek, dan sebagainya. Namun, umumnya korban menerimanya karena ini sebagai syarat agar diterima dalam komunitas tertentu.

Perundungan non verbal dalam situasi seperti ini dapat berbentuk membeda-bedakan individu berdasarkan status sosial atau yang lainnya. Umumnya, berupa tindakan memperdaya korban untuk mau melakukan sesuatu yang memalukan, menakutkan dan sebagainya sebagai syarat agar korban diterima dalam suatu komunitas.  

5. Korban kurang rasa percaya diri

individu yang percaya diri lebih cenderung mampu membela dirinya sendiri (pexels.com/Moose Photos)
individu yang percaya diri lebih cenderung mampu membela dirinya sendiri (pexels.com/Moose Photos)

Rasa tidak percaya diri pada korban perundungan bisa menjadi salah satu penghambat untuk menunjukkan rasa tidak setuju atau tidak suka atas suatu tindakan. Sebaliknya, korban yang memiliki rasa percaya diri cenderung lebih berani menunjukkan rasa tidak setuju atau tidak suka, lebih berani mengatakan tidak atas suatu tindakan orang.

Individu yang memiliki rasa percaya diri bagaimana pun lebih mampu membela dan melindungi dirinya sendiri. Sebaliknya, individu yang kurang memiliki rasa percaya diri cenderung tidak mampu melindungi dan membela dirinya sendiri. Karenanya, orang-orang seperti ini cenderung lebih mudah menjadi korban perundungan. 

Dari kelima alasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa alasan para korban ini tidak melakukan perlawanan mengerucut pada kondisi mental. Mental yang positif akan memberikan dampak positif tentang bagaimana individu memandang persoalan dari perspektif yang solutif. Sebaliknya, mental negatif memandang persoalan dengan perspektif non-solutif. 

Membangun mental positif memang bukan pekerjaan mudah, sebab membutuhkan kesadaran individu untuk melakukan perubahan positif. Selain itu, peran keluarga sangat penting untuk memberi dukungan dalam pembentukkan mental positif. Karena mental positif adalah kekuatan untuk hidup anda hari ini dan hari nanti, maka hiduplah dengan mental positif dan rasakan perubahan positif pada motivasi diri. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak