Parenting Bullyproof untuk Anak Tahan Bully, Bagaimana Tanggapan Psikiater?

Ayu Nabila | Gustya Revor
Parenting Bullyproof untuk Anak Tahan Bully, Bagaimana Tanggapan Psikiater?
ilustrasi anak sedang menangis (pexels/ Kat Smith)

Beberapa waktu lalu sempat viral di jagat tiktok mengenai video seorang ayah yang menerapkan pola parenting bully-proof pada anaknya. Pola parenting ini semacam menghadirkan sosok pembully di hidupnya sendiri, orang itu tak lain adalah ayahnya sendiri. Kendati tidak bermaksud menyakiti anak secara fisik, ia akan melakukan suatu hal seperti menutup pintu ketika anak di mobil sehingga anak panik dan menggedor pintu, membuat anak kaget ketika masuk kamar, ketika dia lagi nangis maka dia akan mengejek anak dengan cengeng dan baperan meski setelahnya berkata bahwa itu adalah 'bercanda.

Video yang kini sudah tidak tersedia itu memunculkan banyak sekali kontra dari masyarakat yang mengkritik pola parenting tersebut. Salah satunya adalah psikiater Siloam Hospital Bogor, dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ, beliau membahas mengenai bullyproof di kanal youtubenya Jiemi Ardian.

Bagaimana hasilnya? Dirangkum dari kanal YouTube resmi psikiater profesional sekaligus penulis buku berbagi tentang pemulihan diri, Jiemi Ardian, berikut penjelasan lebih lanjut.

Apa itu Parenting Bullyproof dan Penjelasan dr. Jiemi Ardian

ilustrasi anak yang di bully (Photo by Mikhail Nilov: https://www.pexels.com/photo/children-laughing-and-bullying-a-boy-in-gray-sweater-sitting-on-a-ground-7929424/)
ilustrasi anak yang di bully (Pexels/ Mikhail Nilov)

Parenting bullyproof yang dibahas oleh video tiktok tersebut merupakan pola parenting yang dimaksudkan agar anak tahan terhadap bullying. Orang tua akan menjadi figur pembully di kehidupan anak agar anak tahan menghadapi bullying di kemudian hari.

Dalam konten YouTube pribadinya yang berjudul "Not Bully Proof," dr. Jiemi menjelaskan bahwa cara kerja otak anak dan otak dewasa berbeda. Otak anak belajar bertahap dari lapisan paling primitif. Lapisan itu dijelaskan dalam 2 bagian:

1. Lapisan Otak Reptil

Lapisan ini adalah dimana anak mempelajari tentang rasa aman, mengamati ancaman dan tempat memunculkan suatu reaksi. Hal ini juga merupakan tempat anak belajar bertahan/survival. Karena jika anak merasa tidak aman, mereka akan melakukan suatu hal yang impulsif dan tidak terprediksi. Misalnya ketika anak merasa PR-nya sulit, ia akan menghindari untuk mengerjakan karena merasa itu suatu hal yang aman.

Mengingat bahwa anak tidak memiliki daya kekuatan maupun daya pikir seperti orang tua, mereka akan sepenuhnya bergantung pada orang tua.

BACA JUGA: Tradisi Begalan di Pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono Bagi-bagi Perabot Gratis ke Masyarakat, Buat Apa Sih?

Jika apa yang mereka pelajari dari orang tua adalah rasa tidak aman, mereka akan kehilangan banyak hal seperti kemampuan belajar, kemampuan eksplorasi dan kemampuan berinteraksi secara natural.

Mengapa? Karena anak yang sudah menganggap dunia tidak aman akan merasa sia-sia mempelajari semuanya.

2. Lapisan Otak Mamalia

Pada lapisan ini, anak akan belajar mengenai respon sebuah perasaan. Disini orang tua hendaknya mengajari anak memberi nama dan mengidentifikasi sebuah perasaan yang sulit serta memvalidasinya, tahapan ini anak masih belum mengetahui perasaan marah bernama 'marah'. Di sinilah peran orang tua membantu anak mengerti perasaannya.

Manusia diberi keterampilan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu, ketrampilan ini akan membuahkan hasil bahwa anak akan mengerti apa kebutuhan emosionalnya. Maka dari itu, perlu sekali validasi emosi dari orang tua.

Di video seorang ayah tadi, ia mengatakan pada anak bahwa apa yang ia lakukan hanya sekedar 'bercanda'. Dr. Jiemi mengatakan bahwa manusia memiliki cognitive humor processing, dalam hal ini candaan akan diproses secara kognitif (pikiran) dan afektif (perasaan).

Masalahnya di sini adalah, anak belum berkembang sepenuhnya dalam aspek pikiran, namun aspek perasaan sudah berkembang. Perlu sekali mengajari batas-batas wajar dalam bercanda namun jangan sampai menginvalidasi perasaan anak.

Dokter Jiemi melanjutkan jika sejatinya kita tidak bisa membentuk anak yang tahan bully.

Kenapa? Karena sejatinya itu tidak pernah ada.

Akan ada anak yang tahan banting, bisa menahan bullyan lebih lama dari orang lain, namun tidak ada yang benar-benar tahan sepenuhnya terhadap bully. Anak akan mengembangkan sebuah attachment atau kelekatan dalam melihat dunia dengan orang lain dalam dua hal: secure dan insecure

Attachment secure akan merasa aman secara umum karena menjalani fase terbaik yang lekat serta bisa bereksplorasi serta bersosialisasi dengan batas-batas yang aman.

Attachment insecure (tidak ada rasa aman) dapat dilihat dari adanya pola anxious dan pola avoidant.

  1. Pola anxious atau cemas akan menjadikannya takut ditinggalkan. Anak akan memilih bertahan dengan hubungan yang keliru daripada hubungan sehat. Anak akan beresiko menjadi korban bullying jika disekitarnya ada pelaku bully.
  2. Sementara dalam pola avoidant ditimbulkan karena anak sulit mengidentifikasi apa yang mereka rasakan secara fisik dan emosional karena tidak terpenuhi dan menjadi kurang empati terhadap orang lain. Ketika ia menyerang dengan candaan dan membuatnya tertawa-tawa sendiri dan orang lain tertawa menderita ia takkan sadar. Anak-anak dengan pola ini akan rentan beresiko menjadi pembully jika di lingkungannya ada pelaku bully juga.

Bagaimana Mengatasi Bullying? Tentu saja tidak cukup dengan pola parenting bullyproof ini.

Penanganan terhadap bullying memerlukan sebuah sistem yang juga dipelajari oleh guru, psikolog maupun psikiater. Orang tua juga harus berkontribusi menolong korban bullying ini untuk menciptakan kembali keseimbangan kekuatan, bukan menjadikan anak sebagai anak manja, namun agar anak merasa aman.

Dokter Jiemi juga mengutip sebuah teori psikologi berupa teori attachment.

Penjelasan teori tersebut adalah kelekatan dibentuk sejak dini sebagai model anak melihat dunia berdasar cara kerja internal. Jika kebutuhan anak terpenuhi secara umum, maka anak akan merasa dunia ini baik-baik saja. Perlindungan orang tua yang memberikan rasa aman padanya akan membuat anak berpikir bahwa dunia ini baik-baik saja. Semenyeramkan apapun kelihatannya, anak akan menyadari bahwa penderitaan itu ada, hanya saja kita harus berpikir bagaimana membuatnya cepat berlalu.

Adapun jika anak tidak tercukupi kebutuhannya. Maka cukup beresiko, anak harus memiliki landasan rasa aman yang kuat. Anak membutuhkan kekuatan dan kelembutan agar menjadikannya kuat, karena kekuatan ini anak akan memiliki empati tinggi dan mengecilkan kemungkinan menjadi perundung atau pembully.

Video yang Mungkin Anda Suka.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak